Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

19 Juni 2009

Indonesia Lebih Neoliberal Dibandingkan AS

Posted by cah_hamfara 05.46, under | No comments


Oleh : Arim Nasim
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis UPI dan Kandidat Doktor Bidang Ilmu Ekonomi Unpad.

Menanggapi tulisan Adriansyah tentang “Indonesia masih jauh dari Neoliberalisme” (”PR”, 12/6) yang menyatakan “Apakah Indonesia sudah jatuh pada perangkap neoliberal, mutlak dipertanyakan.” Hanya dengan merujuk kepada survei Heritage Foundation (suatu think tank yang concern dengan ekonomi pasar bebas), menempatkan Indonesia pada kategori negara yang ekonominya tidak bebas, karena dianggap masih banyak regulasi di sektor perdagangan, tenaga kerja, permodalan, dan kepemilikan negara atas aset-aset publik.


Sebenarnya, corak pembangunan ekonomi Indonesia yang neoliberal sudah tidak ada dan meragukan lagi bahkan Soeharsono Sagir pun dalam opini Pikrian Rakyat (27/5) menyatakan “Menurut pendapat saya, negara kita bebas dari virus neoliberalisme, jika kita mampu mencapai fundamental ekonomi kuat dan berkelanjutan”. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi Indonesia selama ini bukan saja bercorak neoliberalisme, tetapi justru malah lebih neoliberal dibandingkan dengan Amerika Serikat sendiri sebagai negara pengusung neoliberal.

Hal ini bisa kita lihat dari sikap yang disampaikan oleh Senator Byron Dorgan (senator dari North Dakota, AS), ketika ada keinginan dari BUMN Cina, CNOOC, untuk mengakuisisi perusahaan swasta nasionalnya yaitu UNOCAL. “Unocal berada di AS dan telah menghasilkan 1,75 miliar barel minyak. Sangat bodoh bila perusahaan ini menjadi milik asing.” Sikap penolakan AS ini, sebenarnya bertentangan dengan agenda neoliberal yang dikampanyekan AS sendiri. Akan tetapi, AS memandang dengan membiarkan Unocal menjadi milik asing merupakan tindakan bodoh yang akan mengancam keamanan nasional. Bagi AS, lebih baik menjilat ludah sendiri daripada menjual Unocal.

Bandingkan dengan kebijakan ekonomi Indonesia, yang sangat berani dan begitu mudah menjual BUMN-BUMN strategis kepada asing seperti Indosat. Begitu mudahnya pemerintah menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon Mobile. Padahal, Pertamina sebagai BUMN mampu mengelola tambang minyak, yang memiliki cadangan sangat besar tersebut. Untuk melegalkan liberalisasi perekonomian Indonesia, DPR telah mengesahkan berbagai undang-undang seperti UU SDA, UU Migas, dan UU Penanaman Modal sangat liberal yang isinya antara lain: disamakannya kedudukan investor lokal dengan investor asing dalam seluruh bidang usaha, tidak ada pembedaan bidang usaha, melarang negara melakukan nasionalisasi, serta penyelesaian sengketa dengan investor asing dilakukan di arbitrase internasional bukan di pengadilan Indonesia.

Tentu bukan keputusan yang tepat bahkan cenderung tidak bertanggung jawab dan lari dari kenyataan, ketika melakukan privatisasi dengan alasan pengelolaan dan pengaturannya tidak efisien dan menjadi sarang korupsi. Justru yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana BUMN tersebut, bisa efisien dan bebas dari koruptor-koruptor, sehingga bisa dijadikan sumber penerimaan negara untuk pembiayaan APBN dan pada akhirnya bisa menyejahterakan rakyat. Sebab, masalahnya bukan dikelola pemerintah atau swasta, tetapi efisensi dan terbebas dari korupsi. Tidak sedikit perusahaan yang dikelola swasta juga tidak efisien dan bebas dari korupsi.

Kekeliruan kedua, dari Andriansyah adalah persepsi ekonomi syariah. Kekeliruan ini sebenarnya tidak lepas juga dari pemahaman masyarakt umum yang salah tentang ekonomi syariah, seolah-olah hanya seputar lembaga keuangan sehingga muncullah persepsi ekonomi syariah itu sama dengan ekonomi kapitalis minus riba plus zakat dan akhlak.

Sistem ekonomi Islam, sebenarnya membahas dari hal yang sangat mendasar dalam perekonomian, yaitu masalah ekonomi di mana ekonomi Islam memandang bahwa masalah utama ekonomi terkait dengan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, ada tiga prinsip dasar tentang ekonomi Islam: pertama, terkait dengan pengaturan kepemilikan, yaitu ada harta milik individu, milik umum seperti fasilitas umum, serta barang tambang yang melimpah, hutan, laut, sungai, dan sebagainya, maupun milik negara seperti gedung-gedung dan fasilitas negara.

Kedua, mengatur tentang pengelolaan harta yang dimiliki individu, umum, maupun negara. Harta yang terkategori sebagai milik umum dan milik negara, harus dikelola oleh negara dan menjadi sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ekonomi Islam, privatisasi barang milik publik merupakan kejahatan yang dilakukan negara.

Ketiga , mekanisme distribusi kekayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Untuk pemenuhan kebutuhan pokok individu, Islam memberikan kebebasan kepada pribadi untuk mendapatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah, sedangkan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat menjadi tanggung jawab negara secara langsung. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi Islam, pendidikan gratis dan kesehatan gratis bukan komoditas politik untuk membohongi rakyat, tetapi satu kewajiban dari negara.***
sumber : www.hizbut-tahrir.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

 
Istrahatnya s'org aktivis adalah suatu kelalain, Laa rohata ba'dal yauum. Teruslah berjuang hingga Allah memenangkan Dien ini atau kita Syahid Karenanya...