Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

31 Maret 2009

Perubahan: Demokrasi Vs Islam

Posted by cah_hamfara 04.42, under | No comments


Oleh: Muh. Yusrul Falah
Mahasiswa STMIK El-Rahma Yogyakarta


Pendahuluan
Demam 5 tahunan saat ini sedang melanda masyarakat di Indonesia. Sesuatu yang mereka namakan “pesta demokrasi” ada juga sebagian yang menamakannya “pesta rakyat” dengan bahasa lebih sederhana, ini dinamakan pemilu. Semua elemen masyarakat membicarakan “pesta” ini, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dari warung kopi hingga kantor-kantor. Pembicaraan itu tak lepas dari isu-isu yang berkembang selama persiapan “pesta” (baca: kampanye) ini, misalnya partai mana yang akan dipilih, politisi mana yang tergolong busuk dan yang mana yang dirasa bisa mensejahterakan rakyat, iklan partai mana yang paling oke, dan selainnya. Walaupun setiap orang boleh berbeda dalam pandangan partai mana yang dianggap bisa mengemban amanah, tapi dibalik itu semua elemen masyarakat tadi menginginkan satu hal yang dianggap dapat dicapai lewat pesta yang tampaknya berbeda dengan pesta-pesta sebelumnya: perubahan.
Perubahan, ia adalah satu kata yang banyak menimbulkan perbedaan serta perselisihan dalam mendefinisikan tentang makna dan khususnya bagaimana caranya. Tidak sedikit yang memberi standar atau tolak ukur perubahan itu sendiri, setiap partai menjanjikan perubahan itu menurut versinya sendiri-sendiri. Ada yang berpendapat perubahan yang urgen adalah perubahan hukum menjadi lebih tegas, ada lagi yang berpendapat harus dimulai dari perekonomian, ada juga yang beranggapan akhlak dan moral-lah yang harus dirubah terlebih dahulu, yang lebih radikal lagi malah meyakini bahwa perubahan haruslah dimulai dari dasar negara ini, yaitu sistem pemerintahan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Terlepas dari benar dan salahnya analisis mereka tentang apa yang perlu dirubah terlebih dahulu, mereka juga menentukan metode atau jalan yang akan ditempuh agar perubahan yang mereka inginkan itu agar tercapai.

Perubahan Dalam Kontek Demokrasi
Seiring berjalan dengan pesta demokrasi (pemilu), maka bergema pula gaung perubahan ditengh-tengah masyarakat. Tiap partai dan caleg berlomba-lomba menarwarkan perubahan kepada masyarakat untuk membenahi konsidi bangsa yang bobrok ini. Janji-jani itu bias kita lihat dari pamphlet, spanduk maupun orasi dari tiap calon. Namun yang menjadi pertanyaan benarkah demokrasi dengan pemilunya bias menghadirkan perubahan bagi bangsa ini.

Jika yang dimaksudkan adalah perubahan sekadar perubahan, jelas demokrasi menjanjikan itu. Bahkan dalam demokrasi bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena sistem dan aturan penentuannya diserahkan pada selera akal manusia, sementara selera akal selalu berubah dari waktu ke waktu. Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke depan bisa dinilai sebagai madarat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kepentingan (ego). Artinya, perubahan yang ditawarkan oleh demokrasi itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang terjadi. Di sinilah masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat diasumsikan terwakili oleh satu orang wakil. Tentu saja ini adalah satu hal yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Pada faktanya suara wakil itu lebih mencerminkan suara dan kepentingannya sendiri. Bahkan fakta menunjukkan lebih sering justru kepentingan pihak lainlah yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat itu sendiri dan kelompoknya. Hal itu karena demokrasi itu dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinvestasi melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan menentukan. Ironisnya semua itu selalu diatasnamakan suara dan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan yang terjadi. Jadi demokrasi memang menjadikan perubahan tetapi bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan aktor-aktor demokrasi dan para pemodal mereka.

Lebih dari itu, seandainya dengan demokrasi itu tercipta kondisi yang baik yang sepenuhnya memihak kepentingan rakyat –meski ini selalu saja masih menggantung jadi mimpi- demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung. Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah yang belum tentu menjadi lebih baik. Hal itu karena wakil rakyat dan pemimpin yang baik yang terpilih melalui proses demokrasi itu harus dipilih ulang. Pemimpin yang baik itu dibatasi jangka waktunya dan harus diganti ketika sudah habis. Bahkan setelah jangka waktu tertentu ia tidak boleh dipilih kembali. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik-Kapitalis akan bisa menjadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini. Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki.

Hal itu wajar karena demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan. Lebih dari itu, demokrasi sebagai sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan ada hak membuat hukum. Itu artinya demokrasi menjadikan rakyat –riilnya adalah wakil-wakil rakyat- sebagai pembuat hukum.

Perubahan dalam Kontek Islam

Islam adalah agama yang unik, satu-satunya agama yang mengatur manusia baik ibadah (ruhiyah) maupun dalam hal kehidupan/politik (siyasah). Karena itu sebagai kosekuensi dari iman seseorang, maka iman itu mengharuskan semua perbuatan manusia terikat pada hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan. Seorang mu’min akan senantiasa mendasarkan segala aktivitasnya pada hukum-hukum yang telah diturunkan kepadanya dan tidak mengadakan hal-hal baru. Termasuk dalam aktivitas perubahan ini, karena Nabi saw. telah bersabda

“Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak”

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita harusnya juga selalu mencontoh metode Rasulullah saw. dalam merubah masyarakat jahiliyyah pada waktu itu menjadi masyarakat Islam yang diterangi cahaya kemilau dengan menegakan Daulah Islamiyyah yang telah menggoreskan tinta emas pada peradaban manusia.
Keharusan dalam mengikuti Rasulullah saw. selalu ditegaskan dalam firman Allah SWT:

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suatu contoh yang baik bagimu…” (QS al-Ahzab: 21)

“Apa saja yang disampaikan Rasulullah kepada kalian, terimalah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]: 7)

”Katakanlah, ”Inilah jalan (dakwah) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada (agama) Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata.” (QS Yusuf [12]: 108)

Siapapun yang ingin melakukn perubahan haruslah memahami dengan benar fakta-fakta tentang apa yang ingin dirubahnya, mengapa perlu dirubah dan ia pun harus mempunyai gambaran jelas yang tidak kabur dan mendetail tentang perubahan seperti apa yang ia inginkan. Ia pun harus memahami secara jelas apa kelebihan sistem yang dia inginkan dibanding sistem saat ini. Karena objek perubahan kita adalah masyarakat, maka kita harus memahami seperti apa realita masyarakat. Belumlah tepat ketika seseorang mendefinisikan masyarakat hanyalah kumpulan individu. Seseorang yang mengamati masyarakat secara mendalam akan menemukan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang berinteraksi untuk mencapai kemashlahatan dan mempunyai pemikiran, perasaan dan sistem yang diterapkan. Jadi, untuk merubah masyarakat secara mendasar dan menyeluruhm kita pun harus berusaha menyerang pemahaman (mafahim), standar (maqayis), dan keyakinan (qanaah) yang diadopsi, yang membentuk pemikiran, perasaan, dan sistem yang dipakai di dalam masyarakat dengan serangan pemikiran untuk kemudian menggantinya dengan pemahaman, standar, dan keyakinan yang kita inginkan. Dan tentu saja tidak dengan jalan kekerasan. Dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sehingga dengan berlandaskan pada hal itu, jika kita lihat pada sirah Nabi saw. dan mengamatinya, maka kita akan mendapatkan bahwa metode yang dilakukan oleh Rasulullah saw. untuk mewujudkan perubahan tersebut adalah dengan 3 tahapan:

1. Tahapan Pembinaan (Marhalah Tatsqif)
Pada tahap ini, Rasulullah saw. melakukan kulturisasi dan organisasi Islam kepada orang-orang yang waktu itu masih belum bisa dibilang banyak. Pada saat itu pula, Rasulullah saw. terus membina mereka dengan menanamkan pemikiran-pemikiran Islam kepada berupa akidah Islam dan syari’at Islam kepada mereka sehingga pada saat itu para shahabat yang baru berjumlah lebih dari 40 orang menjadi matang dalam penguasaan pengetahuan Islamnya (tsaqafah Islamiyyah). Pola pikir dan pola sikap mereka pun menjadi telah Islami. Rasulullah membina mereka dalam jangka waktu kurang lebih 3 tahun dengan da’wah yang masih sembunyi-sembunyi, di dalam kelompok inilah kemudian akan lahir individu-individu yang menstandarkan seluruh aktivitasnya pada syari’at Islam yang secara jama’ah kuat ikatannya dan siap dipergunakan untuk memperjuangkan Islam.
2. Tahapan Interaksi dengan Ummat (Marhalah Tafa’ul ma’al Ummah)
Tahap ini dimulai ketika turun ayat dari Allah SWT. Yang berbunyi:

”Oleh karena itu, sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala hal yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS al-Hijr [15]: 94)

Pada saat ayat ini turun, saat itulah kaum muslimin yang masih tergabung dalam kelompok kecil itu mulai masuk dan berinteraksi dengan masyarakat jahilliyah pada waktu itu. Saat itulah Rasulullah saw. melakukan kegiatan-kegiatan yang dipandang perlu dilakukan agar pemikiran-pemikiran dan ide-ide Islam menjadi opini umum (ra’y al-’am) yang lahir dari kesadaran umum (wa’y al-’am). Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Rasulullah pada waktu itu untuk mewujudkan opini Islam di tengah-tengah masyarakat adalah dengan (1) melakukan pembinaan khusus (at-tatsqif al-murakkazah) kepada para shahabat dan orang yang baru masuk Islam, (2) melakukan pembinaan umum (at-tatsqif al-jama’iy) yaitu dengan menghadiri majelis-majelis dan musim-musim haji untuk menyeru manusia dengan Islam, membaca al-Qur’an di sisi Ka’bah, (3) melakukan serangan pemikiran terhadap ide-ide kufur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan juga menyerang interaksi-interaksi yang batil antara penguasa pada waktu itu dan masyarakat dengan pergulatan pemikiran (as-shira’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) sehingga masyarakat menjadi tidak percaya pada hukum jahilliyah dan penguasanya pada waktu itu. Sebagai ganntinya Rasulullah dan para shahabat memberikan solusi terang benderang, yaitu solusi Islam. Ketika Islam telah menjadi opini umum seperti di kota Madinah al-Munawarrah, maka dengan sendirinya masyarakat akan menstandarkan seluruh aktivitasnya pada Islam dan otomatis merindukan ditegakkannya Islam.
3. Tahapan Penerimaan Kekuasaan (Marhalah Istilamil Hukmi)
Tahapan ini adalah tahapan pengambilalihan/penerimaan kekuasaan serta penerapan Islam secara utuh serta menyeluruh. Hal ini terjadi ketika dalam waktu satu tahum Mush’ab bin Umair berhasil menyiapkan Madinah menjadi tempat bagi Rasulullah untuk menegakkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila tahap kaderisasi dan tahap interaksi dengan ummat telah dilalui dan berhasil diwujudkan. Hal ini juga memerlukan dukungan dari pemilik kekuasaan dan kekuatan (ahl al-quwwah) di daerah tersebut, untuk itu, pada proses da’wahnya rasulullah selalu mendatangi kabilah-kabilah pemegang kekuasaan di kaum Arab pada waktu itu, Rasulullah juga pernah meminta pertolongan kepada penduduk Madinah pada saat Bai’at Aqabah kedua. Inilah yang disebut dengan meminta pertolongan kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan (thalab an-nushrah). Ini juga terlihat pada aktivitas Mush’ab bin Umair yang menda’wahi pemuka dari Bani abd al-Asyhal Usaid bin Khudair dan Sa’ad bin Mu’adz yang erupakan pemimpin yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan serta kekuatan di kota Madinah. Tujuan mencari perindungan pada kaum pemilik kekuasaan ini ada dua macam, yaitu: (1) untuk mendapatkan perlindungan (himayah) sehingga tetap dapat melakukan aktivitas da’wah dalam keadaan aman dan terlindung, (2) untuk mendapatkan dukungan dari para pemilik kekuasaan dan kekuatan untuk menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan dengan bentuk pemerintahannya yang khas yaitu Daulah Islamiyyah.

Dalam melaksanakan perubahan itu, Rasulullah juga mepunyai karakter yang khas dalam perjuangannya, yaitu tanpa kekerasan (laa maddiyyah), pemikiran (fikriyyah) dan politis (siyasiyyah).

Hal ini dapat dipahami, dari awal da’wah Rasulullah saw. sampai terjadinya perubahan yaitu berdirinya Daulah Islamiyyah di Madinah. Rasululah saw tidak pernah melakukan tindakan kekerasan kepada kaum-kaum kafir Quiraisy yang nyata-nyata pada waktu itu memerangi dan menyiksa kaum muslimin. Bukan berarti pada saat itu Rasulullah tidak mempunyai kekuatan, tetapi memang karena ia belum diperintahkan oleh Allah SWT. Untuk melakukan hal itu. Bahkan ketika Bilal bin Rabbah disiksa dan ketika shahabat meminta kepada Rasulullah saw. untuk memerangi orang-orang Quraisy, beliau menjawab: ”Kami belum diperintahkan untuk itu.” Padahal pada saat itu Rasulullah saw. telah mendapatkan dukungan yang memadai, semangat dan keberanian yang tinggi dari para pengikutnya. Namun, Rasulullah tetap menolaknya dengan tegas. Ini menunjukkan bahwa dalam rangka menegakkan (syaria’t) Islam tidak dibenarkan aktivitas kekerasan atau mengangkat senjata.

Bangkitnya Islam juga didasari pada landasan pemikiran ”Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah”, inilah yang dida’wahkan Rasulullah saw. dimana dari pemikiran dasar inilah akan muncul akidah yang berlandaskan pemikiran yang shahih. Pemikiran ini pula yang akan mendasari taatnya seorang muslim pada syari’at Islam.

Kekuasaan adalah salah satu akses politik, sehingga untuk mengambil kekuasaan itu juga diperlukan aktivitas politik. Sehingga aktivitas Rasulullah pada waktu itu yang menyerang ide-ide jahilliyah dan pemikiran-pemikiran batil yang berkembang didalam masyarakat, mengungkap konspirasi kaum kafir, menelanjangi kebusukan penguasa pada saat itu juga merupakan aktivitas politis, begitu pula dengan proses meminta pertolongan (at-thalab an-nushrah) kepada yang dilakukan Rasulullah, yaitu mendatangi penguasa (ahl al-quwwah), ini pun merupakan tindakan politis yang dilakukan oleh Rasulullah

Demikianlah penjelasan singkat tetang kontek perubahan ditinjau dari 2 sisi, demokrasi dan islam. Dari penjelasan dapat kita ambil kesimpulan bahwa hanya islam satu-satunya metode perubahan yang bisa membawa kita menuju perubahan hakiki. Waalahu’alam bishowab



Pemilu, Demokrasi dan Islam

Posted by cah_hamfara 04.34, under | No comments


Oleh : Adi Nashrullah al-Lampungi

Mahasiswa STEI Hamfara Prodi: Manajemen Syariah

Senin (16/03/09) pagi menjadi saat-saat paling menegangkan dan dag dig dug bagi para partai politik peserta pemilu 2009 di Indonesia. Dengan dimulainya deklarasi kampanye damai yang dihadiri oleh seluruh komponen partai politik, tentunya ini menjadi awal penentu keberhasilan untuk memperoleh kemenangan pada kontestan pemilu tanggal 9 april 2009, ataukah menjadi ajang harap-harap cemas untuk menunggu penantian panjang yang selama ini sudah diperjuangkan untuk menjadi peserta kontestan. Semua partai akan bertanya, apa sebenarnya yang akan terjadi pada hari kamis, tanggal 9 april 2009?

Uang Dihamburkan, Rakyat Dilenakan
Seorang peserta partai politik di kabupaten Jawa Barat harus gigit jari. Ia tak bisa menjadi calon legislatif, “saya harus membayar Rp 20 jt tentu dari mana saya mendapatkanya”, katanya. Tak heran juga dua caleg asal lampung selatan, Reza fadhillah dan Anshorullah dari PPI rela terjun kedunia kejahatan, dengan membawa 12 kg ganja ke Jakarta untuk dijual dengan nilai Rp26 jt tentu untuk memenuhi kebutuhan kampanye, yang akhirnya ditangkap polisi di Bakauheni ahad malam (22/02/09). Di DKI Jakarta, seorang caleg ditangkap polisi karena diduga mencuri sepeda motor di depan sebuah rumah makan bersama rekannnya.
Dalam sebuah kesempatan Rizal malaranggeng mengatakan, “demokrasi memang mahal”. Hanya yang bermodal besar saja yang bias berperan, sedangkan yang uangnya cekak harus menyingkir dari arena percaturan. Hal senada juga diungkap oleh politisi PAN Drajad Wibowo, bahwa untuk tebar pesona dan memberi janji kepada rakyat perlu dana yang tidak sedikit, sehingga beribu cara akan dilakukan untuk mendapatkan sumber pendanaan kampanye.
Fakta membuktikan, Tantowi Yahya memerlukan dan sekitar Rp 1,5 milyar untuk caleg sumsel, Jeremy Thomas sudah habis Rp 450 jt untuk caleg Riau, tentu yang paling mengejutkan adalah biaya terbesar adalah untuk iklan. Hingga sampai ada yang keblinger rela nunggakkan SPP anaknya dan rela mengeluarkan 70 jt padahal assetnya hanya 50 jt. Belum lagi fakta-fakta lain baik caleg maupun para capres/cawapres yang tentu malah lebih besar lagi.
Mimpi kesejahteraan itulah yang akan terjadi. Tentu siapa yang akan diuntungkan dari proses demokrasi dengan biaya besar ini dan siapa yang akan menikmati hasilnya?

Mimpi Sejahtera dalam Demokrasi
SBY memperoleh penghargaan dari Amerika Serikat sebagai Negara Demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tentu itu penghargaan yang luar biasa dan harus dipertahankan. Tapi apakah keberhasilan ini berkorelasi positif dengan kesejahteraan rakyat? Sabar dulu.
Hiruk pikuknya pesta Demokrasi, rakyat akan tetap menjadi susah. Dari masalah busung lapar sampai ke krisis keuangan global akan tetap terus berlanjut. Lalu model Demokrasi seperti apalagi yang akan diterapkan di negeri ini! Tidak puaskan dengan sejarah kelam penerapan Demokrasi dari Soekarno sampai SBY sekarang ini.
Bila diperkirakan bahwa pesta Demokrasi 2009 ini akan menghabiskan dana sekitar Rp 50 triliyun, yang seharusnya dana tersebut untuk mengentaskan kemiskinan dengan lebih cepat dengan ditambahnya alokasi dana pengentasan kemiskinan sendiri sekitar Rp 57 triliyun (jadi 107 triliyun). Sehingga anggota DPR sendiri, Ridwan Saidi atau Ali Muchtar Ngabalin sangat gemas dengan model demokrasi sekarang ini (tapi kok masih betah duduk menjadi anggota DPR) . Menurut mereka, apa yang dilakukan oleh caleg dan capres adalah tindakan kemubadziran alias tidak ada yang menunjukkan tujuan agama atau ideologi tapi malh sebaliknya berjuang kembalikan dana kampanye. Seperti dicatat dalam kolom International Herald Tribune (9/2/1998) bahwa “Democracy does not guarantee that you will never have an economic crises” (Demokrasi tidak menjamin bahwa anda tidak pernah mengalami kiris ekonomi)”. Dan inilah yang terjadi di Indonesia 60 tahun lebih merdeka dengan menerapkan Demokrasi yang bermacam-macam tak mampu bangkit menjadi bangsa yang mandiri dan besar tapi malah sebaliknya.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa membangun Negara ini harus dengan Demokrasi? Toh tak bisa menjamin kesejahteraan? Apakah yang salah, pemilunya atau Demokrasinya? Oarangnya atau sistemnya? Dan kemudian pertanyaan terakhir adalah dengan jumlah muslim terbesar di Indonesia kenapa tidak mampu untuk bisa mensejahterakan rakyat?

Pemilu dalam Islam
Mungkin pertanyaan kita yang mendasar adalah, apakah Pemilu (intikhabat) itu ada dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi? Mari kita mengkaji satu persatu jawabannya.
Benar, Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prinsip ini terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah. Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Nah, di sinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.
Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tharîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-‘ashlî). Cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan; apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer; apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil QS At-Taubah [9]: 103. Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang -dari perbuatan pokok- yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada (An-Nabhani,1953: 116; Zallum, 2002: 205-206; Al-Mahmud, 1995: 106-107).
Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.:
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah. (Hadis sahih. Lihat: Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-Bâri, XVI/240)”.
Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan "mati Jahiliah". Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).
Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada’ al-bai’ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.
Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya ('adamul wujub) untuk berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhwânullâh ‘alayhim. Namun, pada semua khalifah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang tetap, dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tak ada metode lainnya. (Zallum, 2002: 82).



Pemilihan Khulafaur Rasyidin
Baiat menurut pengertian syariat adalah hak umat untuk melangsungkan akad Khilafah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah) (Al-Khalidi, 1980: 114; 2002: 26). Baiat ada dua macam: Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad Khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah. Kedua, baiat ath-thâ‘at (atau bay’ah ‘ammah), yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalifah (Al-Khalidi, 2002: 117-124).
Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada Khulafaur Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis pengangkatan khalifah (ijrâ’at at-tanshîb), atau cara (uslûb) yang ditempuh sebelum baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang pernah dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalifah sebagai berikut (Zallum, 2002: 72-85):
Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1) diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi; (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah; (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah satu dari calon tersebut; (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang terpilih; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umumnya umat kepada khalifah.
Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Umar bin al-Khaththab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal; (2) khalifah itu melakukan istikhlâf/‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah lagi: (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat kepada khalifah.
Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut: (1) khalifah melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah: (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah; (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat; (4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.
Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah; (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat; (3) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.

Itulah empat cara pengangkatan khalifah yang diambil dari praktik pada masa Khulafaur Rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan Khulafaur Rasyidin di atas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani (1963: 137-140) dan Imam Abdul Qadim Zallum (2002: 84-85) lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara pengangkatan khalifah ini terdiri dari 4 (empat) langkah:

(1) Para anggota majelis umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya.

(2) Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.

(3) Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.

(4) Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.

Pemilihan Anggota Majelis Umat
Di samping Pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada Pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).
Mengingat Pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakalah, maka implikasinya berbeda dengan akad Khilafah. Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148). Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).

Samakah Pemilu dalam sistem Khilafah dengan Pemilu dalam sistem Demokrasi?
Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara/teknis (uslûb), memang boleh dikatakan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, At-Tafkîr, 1973: 91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003: 2). Ada beberapa hal yang harus dikemukan disini, pertama; memilih pemimpin memang wajib (di dasarkan pada HR Abu Dawud dari Abu Hurairah), kedua ;kepala Negara atau kepala daerah adalah pemimpin yang menjalankan urusan pemerintahan (al Hakim) yang bertugas menerapkan hokum (munafidz al-hukm) ditengah-tengah masyarakat (berdasar Q.S an-Nisa: 59).
Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda; bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh, secularism) (Al-Khalidi, 1980: 44-45), sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995: 23).
Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyâdah li asy-sya‘b), sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 37-38; Ash-Shawi, 1996: 69-70; Rais, 2001: 311).
Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990: 1, 1994: 139-140; Belhaj, 1411 : 5).
Jelaslah, pemilu dalam sistem Khilafah, walaupun ada kemiripan, tetap tidak sama dengan pemilu dalam sistem demokrasi saat ini. Ibaratnya adalah seperti babi dan sapi. Keduanya memang ada kemiripannya, misalnya sama-sama berkaki empat. Tapi yang pertama haram sedang yang kedua halal. Perbedaan-perbedaan pemilu dalam sistem demokrasi dan khilafah itulah yang wajib kita cermati, agar kita tidak terjerumus dalam dosa karena ikut-ikutan terlibat dalam praktik sistem demokrasi yang kufur.
Memilih pemimpin untuk menjalankan system sekuler berarti sama saja dengan mempertahankan keburukan dan hukumnya jelas haram, sehingga kalau sekarang akan ada pemilu pada hari kamis tanggal 9 april 2009 dan kita ikut dalam pemilu bukanlah pilihan satu-satunya yang harus dipilih. Sebab, ada pilihan lain yaitu; berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik, yang siap menerapkan system yang baik pula yaitu: Syariah dan ini adalah hukumnya wajib. Wallahu a'lam.

Sumber :
- Majalah al-Wa’ie, tahun 2004.
- Majalah al-Wa’ie, edisi 1-30 September 2008
- Majalah al-Wa’ie,edisi 1-31 Maret 2009
- Tabloid Media Umat edisi 8, 6-19 Maret 2009
- ANALISIS DIALEKTIK Kaidah Pokok Pemerintahan Islam, Penulis; DR.Mahmud ‘Abd al-Majid al-Khalidi, penerbit; Al Azhar Press 2004
- Struktur Negara Khilafah, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, 2005
- Negara Demokrasi untuk Indonesia, penulis; Dadang Yuliantara, Penerbit ; Pondok Edukasi, 2002
- HU Republika, tanggal 14-18 Maret2009
- HU Kedaulatan Rakyat 16-17 Maret 2009
- HU Kompas 16 Maret 2009
- www.khilafah1924org

27 Maret 2009

Demokrasi , Alat Perjuangan Syariah ?

Posted by cah_hamfara 22.50, under | 1 comment


HTI-Press. Pro kontra tentang demokrasi dan Islam terus bergulir ditengah umat, apalagi menjelang pemilu. Bagaimana Islam mensikapi Demokrasi ? Sejauhmana demokrasi bisa dijadikan alat perjuangan untuk penegakan syariah Islam ? Masalah ini akan dijelaskan Ustadz Muhammad Ismail Yusanto dalam wawancara berikut ini. (redaksi)

Menurut Ustadz, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap Demokrasi?

Harus diakui, demokrasi kini telah menjadi sistem politik yang paling banyak dianut di dunia. Ini karena hampir semua negara, termasuk negeri – negeri muslim semenjak runtuhnya kekhilafahan Utsmani pada 1924, menganut sistem politik ini. Tapi penerimaan dunia Islam terhadap demokrasi tidaklah mulus. Bila kita ringkas, kiranya ada tiga kelompok sikap. Pertama, yang mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Islam bukan saja menerima ajaran demokrasi, bahkan mereka mengatakan Islam adalah agama yang sangat demokratis seperti tampak pada anjuran untuk bermusyawarah dan sebagainya. Kedua, pandangan yang menolak sama sekali demokrasi. Sebagai anak kandung sekularisme, demokrasi dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Sementara kelompok ketiga mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tapi Islam bisa memberikan nilai-nilai dalam demokrasi. Dari kalangan mereka muncul istilah demokrasi yang Islami. Perbedaan ini muncul karena masing-masing memahami demokrasi dalam perspektif yang berbeda-beda.


Dalam menyikapi demokrasi mestinya kita harus kembali kepada inti dari paham demokrasi itu sendiri, yakni kedaulatan rakyat dimana makna praktis dari kedaulatan adalah hak membuat hukum. Dari sini jelas bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan atau hak membuat hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan rakyat atau wakil rakyat.

Adanya anjuran musyawarah dalam Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Bila kita telaah sungguh-sungguh nyata sekali bahwa musyawarah bukanlah satu-satunya jalan pengambilan keputusan. Dalam masalah tasyri’ (penetapan hukum), keputusan diambil dengan cara merujuk kepada sumber hukum yakni al Quran dan As Sunnah atau ijtihad. Musyawarah hanya dilakukan dalam teknis pelaksanaan suatu perkara. Rasulullah bermusyawarah dengan para shahabat tentang dimana mereka harus menghadapi pasukan kafir Quraisy dalam perang Uhud, apakah di dalam atau di luar kota Madinah. Rasul tidak bermusyawarah tentang apakah jihad itu wajib atau tidak.


Salah satu unsur penting dari demokrasi adalah pemilu. Bagaimana sikap HT sendiri terhadap pemilu, Ustadz?


Memang di dalam Islam juga ada pemilu, yakni untuk pemilihan kepala negara atau khalifah dan pemilihan wakil rakyat dalam majelis ummat. Sesuai dengan prinsip bahwa kekuasaan di tangan rakyat (al-sultotu lil ummah), maka khalifah dipilih umat. Tidak seorang pun bisa menjadi seorang khalifah kecuali jika dipilih dan dibaiat oleh umat. Baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan (thariqah in’iqadz) dalam sistem khilafah. Adapun metode pemilihan (uslub intikhab) khalifah bisa dilakukan melalui pemilihan langsung (one man one vote), bisa juga melalui ahl al-halli wa al-aqd atau majelis umat yang menjadi perwakilan dari umat.

Pada dasarnya pemilihan anggota legislatif sebagai wakil rakyat adalah akad perwakilan (wakalah), sementara hukum wakalah menurut syariat Islam adalah mubah. Sementara keabsahan wakalah itu tergantung pada rukun-rukunnya; jika rukun-rukun tersebut sempurna, maka wakalah tersebut juga sah, dan jika rukun-rukun itu tidak terpenuhi, maka tidak sah. Rukun wakalah adalah adanya akad atau keterkaitan antara ijab dan qabul, dua orang yang melakukan akad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan (al umuur al muawakkal biha), serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shîghat at-tawkîl). Semuanya harus sesuai dengan ketentuan Islam Bila semua rukun terpenuhi, maka yang akan menentukan kemudian apakah wakalah ini Islami atau tidak adalah pada amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh wakil. Bila yang dilakukan oleh wakil adalah menghentikan sekularisme dan menegakkan sistem Islam, maka ini adalah wakalah Islami. Tapi bila sebaliknya, tentu tidak Islam dan harus ditolak.

Bila pandangan Islam terhadap Demokrasi seperti itu, menurut Ustadz, apakah Demokrasi bisa dijadikan jalan perjuangan menegakkan syariah Islam? Seperti apa peluang dan gambarannya?


Bisa, asal seseorang yang berjuang untuk tegaknya syariah melalui jalan itu memenuhi syarat dan ketentuan, yaitu, a). Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekuler, yang akan berjuang untuk menjalankan fungsi muhasabah. Bukan legislasi. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekuler; b) Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari perjuangan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam, dan membebaskan negeri ini dari pengaruh dan dominasi negara asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, c) Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam. d) Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas.


Kalau Demokrasi dijadikan jalan perjuangan penegakan syariah, adakah bahaya yang bisa muncul? Kalau ada seperti apa bahaya itu?


Masuknya seorang muslim yang bertaqwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekuler ini akan sangat berguna dalam satu kondisi, yakni ketikat mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyiir), menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam, mengoreksi penguasa, menjelaskan kebobrokan sistem sekuler itu dan menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf dan nahi mungkar.

Bila itu tidak dilakukan, maka keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan menjadi bahaya besar, antara lain: a) Keberadaan mereka di parlemen justru akan digunakan pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekuler sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyiir), bahwa mereka juga muslim, dan faktanya mereka juga terlibat dan rela terhadap sistem tersebut; c) Mereka akan menimpakan tanggungjawab kerusakan dan kedzaliman yang lahir dari sistem sekuler itu kepada umat Islam, padahal seharusnya yang bertanggungjawab adalah kaum sekuler saja. d) Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak, dan memalingkan perasaan umat Islam sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.


Kalau melihat partai-partai yang mengklaim berjuang melalui demokrasi, menurut Ustadz sejauh mana mereka memperjuangkan syariah Islam? Atau jangan-jangan selama ini tidak ada yang memperjuangkan syariah Islam?


Dari segi platform, ada. Hanya saja perjuangan seperti itu memang tidak mudah. Hasil perolehan suaranya dalam pemilu lalu jauh di bawah partai sekuler. Sehingga kekuatan politiknya juga kecil. Akibatnya, gagasan-gagasan politiknya tidak bisa direalisasikan karena kalah suara. Oleh karena itu, partai-partai Islam tidak boleh menjadikan pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menegakkan syariat Islam, sedemikian sehingga seolah-olah hidup matinya tergantung pada pemilu. Parpol Islam harus sungguh-sungguh melaksanakan semua fungsi parpol, terutama fungsi edukasi agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat. Juga, wajib melakukan kritik terhadap penguasa atas kebijakan dzalim yang tidak sesuai dengan syariah, serta mengungkap makar jahat negara asing di negeri ini dan negara dunia Islam yang lain. Hanya melalui cara ini, kekuatan politik Islam untuk mewujudkan perubahan mendasar tadi bisa dibentuk.


Ada anggapan bahwa demokrasi itu bisa dijadikan alat atau strategi untuk perjuangan penegakan syariah, bagaimana Ustadz menilai anggapan ini?


Jika yang dimaksud dengan penerapan syariat itu adalah penerapan syariat secara parsial, hal itu sudah bisa diwujudkan. Misalnya adanya ketentuan hukum waris, nikah talak rujuk dan cerai serta perkara ahwâl syakhshiyyah (perdata), UU Zakat, UU Perbankan Syariah dan lainnya. Tapi bila yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam secara kaffah tentu ini belum terwujud. Mengapa? Karena partai politik yang mengikuti pemilu harus mengakui, tunduk, dan terikat dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagian orang beranggapan, bila sistem perundang-undangan diubah, misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, di mana pemenang pemilu selain berhak membentuk pemerintahan juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan, maka perjuangan untuk menerapkan syariat Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Tampaknya logis, tapi faktanya pemerintahan sekuler yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah mentolelir keberhasilan sebuah partai Islam dalam pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, juga Hamas di Palestina membuktikan hal itu.


Selama ini HT selalu mengkritisi dan menolak demokrasi, tapi ada sebagian orang yang menganggap HT justru mendapat manfaat dari demokrasi. Karena dengan demokrasi HT leluasa mengkampanyekan ide-idenya. Bagaimana tanggapan Ustadz?

Pertama, harus dipahami bahwa sebagai bagian dari warga negara ini, anggota HT mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk turut serta berusaha membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Hak dan kewajiban ini tidak boleh dihalangi bahkan semestinya diberi jalan. Karenanya, bila sekarang HT mendapatkan tempat untuk menyebarkan ide-idenya, ya memang semestinya seperti itu. Ini tidak ada urusannya dengan demokrasi. Karenanya, HT tidak merasa berutang budi terhadap demokrasi, dan akan tetap menuntut supaya syariah Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan sistem sekuler, termasuk demokrasi itu sendiri.


Ada anggapan, karena Demokrasi sudah mendunia dan diadospi oleh hampir semua negara, maka perjuangan syariah tidak bisa tidak harus melalui jalan Demokrasi itu. Muncul pertanyaan, kalau tidak dengan Demokrasi lalu dengan apa? Bagaimana Ustadz menanggapi anggapan dan pertanyaan itu?


Memang ada yang mengambil demokrasi bukan dari segi paham tapi sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Demorasi dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik. Tidak ada cara lain selain demokrasi. Persis seperti pertanyaan tadi, bila tidak melalui cara demokrasi lantas menggunakan apa?

Sikap seperti ini menunjukkan kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan kita akibat telah masuk pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Itu yang kita sebut sebagai thariqah dakwah Rasulullah. Ini metode perjuangan yang Islami, dan insha Allah akan bisa menghantarkan pada terwujudkanya cita-cita politik kita, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam.


Ustadz, sebagian orang memandang bahwa perjuangan melalui Demokrasi akan lebih cepat mencapai hasil, sementara perjuangan penerapan syariah melalui penegakan Khilafah jelas membutuhkan waktu yang panjang, bagaimana tanggapan Ustadz?


Lama atau sebentar sebenarnya sangat relatif. Fakta membuktikan justru cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, perubahan Orde Baru tidak terjadi melalui pemilu meski telah diadakan berulang kali selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang hanya beberapa bulan. Tapi karena reformasi juga tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi dan sebagainya. Maka tak heran, bila upaya memerdekakan negeri ini tak kunjung berhasil, meski sudah lebih dari 50 tahun kita berharap. Andai kita dari dulu sungguh-sungguh menyiapkan langkah-langkah yang benar bagi perubahan fundamental yang dicita-citakan, mungkin kita tidak memerlukan waktu sepanjang ini.

Perjuangan Rasul saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah dan berbuah setelah hijrah ke Madinah. Tapi fase ini tidak mungkin terjadi, bila Rasul tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang memakan waktu cukup lama yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan untuk menanamkan fikrah Islam di tengah jamaah. Dan setelah hijrah ke Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa. Setelah itu orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Bila perjuangan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan metode atau thariqah yang dicontohkan oleh Rasulullah sejak negeri ini merdeka, Insha Allah perjuangan akan cepat berhasil dan negeri ini tidak perlu terpuruk seperti sekarang ini.


Ada pandangan, dengan tidak ikutnya HTI dalam pemilu itu merupakan penggembosan (tikaman) terhadap perjuangan politik umat?


HTI adalah jamaah dakwah yang berjuang secara politis untuk tegaknya sistem Islam. Melalu kegiatan pembinaan dan pengkaderan yang dilakukan oleh HTI telah terlahir ribuan kader dakwah. Ini akan mendorong terciptanya kesadaran politik umat, yang dengan kesadaran itu memungkinkan adanya tuntutan dari umat untuk terjadinya perubahan politik ke arah Islam. HTI juga melakukan kritik dan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan ajaran Islam, membongkar makar jahat negara penjajah dan menjelaskan berbagai solusi atas persoalan yang dihadapi umat dengan cara Islam. Jadi bagaimana bisa HTI dituduh melakukan penggembosan perjuangan politik umat?


Juga ada pandangan bahwa kalau HTI tidak terlibat dalam pemilu, berarti hanya menjadi penonton?

Salah besar. Tudingan semacam ini baru benar bila HTI memang tidak melakukan apa-apa. Padahal, faktanya HTI telah secara aktif berdakwah, melakukan pembinaan dan pengkaderan umat melalui berbagai cara (uslub) dan sarana (wasilah) di seluruh penjuru tanah air. Ribuan forum baik dalam bentuk seminar, diskusi, pengajian, tablig akbar, maupun bentuk yang lebih bersifat personal telah terselenggara tiap minggunya. Belum lagi bahan terbitan yang dikeluarkan oleh HTI baik berupa buletin jumat al Islam dengan tiras lebih dari 1 juta eksemplar, al Waie, Media Umat, makalah dan sebagainya yang tersebar dibaca dan dikaji oleh umat. Diyakini melalui pembinaan itu umat menjadi sadar mengenai hak, peran dan tanggungjawabnya sebagai muslim. Dan kesadaran itu berpengaruh besar pada aspek ekonomi, politik praktis dan lainnya. HTI juga telah melakukan banyak sekali kontak dengan para tokoh umat, tokoh politik, media massa dan lainnya untuk mendorong peningkatan peran mereka dalam perjuangan ini. Disamping itu, HTI juga sangat aktif melakukan kritik dan koreksi terhadap penguasa atas kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syara’, serta mengungkap konspirasi asing —yang dilancarkan oleh negara-negara penjajah— di negeri ini dan negeri di dunia Islam yang lain. Dengan seabreg kegiatan politik semacam itu, bagaimana bisa HTI disebut hanya sebagai penonton?

Kepada siapa HT akan memberikan suaranya dalam pemilu?

HTI tidak dalam kedudukan untuk menyebut salah satu parpol atau individu yang layak didukung. HTI hanya menyebut kriteria dan syarat-syarat, yang kalau dipenuhi oleh calon legislatif, maka dia boleh dipilih, yakni: a) Pencalonannya didasarkan pada ajaran Islam yang dilakukan melalui partai politik berasas Islam di mana asas itu harus tercermin dalam fikrah yang diadopnya baik menyangkut politik dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial dan pendidikan. Semua fikrah itu tergambar dengan jelas hingga siapa saja dengan mudah bisa mempelajarinya. Juga harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam kehidupan berpartainya sehari-hari, dalam konteks hubungannya dengan anggota dan dalam hubungannya dengan yang lain dalam kehidupan berparlemen, termasuk dalam soal materi kampanye, strategi dan tatacara yang dilakukan. b) Tujuannya adalah untuk melakukan fungsi fungsi muhasabah, bukan legislasi; menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam. Mewujudkan kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah. c) Bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuan ini, tegas dan terbuka, tanpa rasa takut dan malu.

Hukum Pemilu Legislatif dan Presiden

Posted by cah_hamfara 22.48, under | No comments

[Al-Islam 448] Tidak lama lagi, Indonesia kembali akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Pemilu kali ini, selain untuk memilih anggota legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat dan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), juga memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Anggota Legislatif akan diselenggarakan pada 9 April 2009. Pemilihan Presiden akan diselenggarakan pada awal Juli 2009 untuk putaran pertama, dan pertengahan September 2009 untuk putaran kedua.

Berdasarkan undang-undang dasar maupun undang-undang yang ada, anggota legislatif memiliki tiga fungsi pokok: (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU; (2) melantik presiden/wakil presiden; (3) fungsi pengawasan, atau koreksi dan kontrol terhadap Pemerintah. Adapun Presiden secara umum bertugas melaksanakan Undang-Undang Dasar, menjalankan segala undang-undang dan peraturan yang dibuat.

Berdasarkan fakta ini, hukum tentang Pemilu di Indonesia bisa dipilah menjadi dua: Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Pemilu Legislatif

Pemilu Legislatif pada dasarnya bisa disamakan dengan wakalah, yang hukum asalnya mubah (boleh) berdasarkan hadis Nabi saw.:

«وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اَرَدْتُ الْخُرُوْجَ اِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا»

Jabir bin Abdillah ra. berkata, Aku hendak berangkat ke Khaibar, lalu aku menemui Nabi saw. Beliau bersabda, “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR Abu Dawud).

Dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. juga pernah meminta 12 orang wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu, yang dipilih oleh mereka sendiri.

Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa hukum asal wakalah adalah mubah, selama rukun-rukunnya sesuai dengan syariah Islam. Rukun wakalah terdiri dari: dua pihak yang berakad (pihak yang mewakilkan/muwakkil) dan pihak yang mewakili/wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).

Jika semua rukun tersebut terpenuhi maka yang menentukan apakah wakalah itu islami atau tidak adalah amal atau kegiatan yang akan dilakukan oleh wakil.

Terkait dengan anggota legislatif, hukum wakalah terhadap ketiga fungsi pokoknya tentu berbeda. Wakalah untuk membuat perundang-undangan sekular dan wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden yang akan menjalankan sistem sekular tentu berbeda hukumnya dengan wakalah untuk melakukan pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.

Berkaitan dengan fungsi legislasi, setiap Muslim yang mengimani Allah SWT wajib menaati syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah; baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Allah SWT telah menegaskan:

Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah (QS Yusuf [12]: 40).

Allah SWT juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah taat pada syariah-Nya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65; al-Ahzab [33]:36). Tidak boleh seorang Muslim mengharamkan apa yang telah Allah halalkan atau menghalalkan apa yang telah Allah haramkan. Tentang hal ini, Adi bin Hatim ra. berkata: Saya pernah mendatangi Nabi saw. ketika beliau sedang membaca surah Bara’ah:

Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam (QS at-Taubah [9]: 31).


Beliau bersabda, ”Mereka memang tidak menyembah para alim dan para rahib mereka. Namun, jika para alim dan para rahib mereka menghalalkan sesuatu, mereka pun menghalalkannya. Jika para alim dan para rahib mereka mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).

Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam, bahkan dapat dikategorikan sebagai perbuatan menyekutukan Allah SWT.

Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular tidak boleh, karena hal tersebut merupakan aktivitas yang bertentangan dengan akidah Islam.

Wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden juga tidak boleh, karena wakalah ini akan menjadi sarana untuk melaksanakan keharaman, yakni pelaksanaan hukum atau peraturan perundangan sekular yang bertentangan dengan syariah Islam oleh presiden/wakil presiden yang dilantik tersebut. Larangan ini berdasarkan pada kaidah syariah yang menyatakan:

(اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ)

Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan pada perbuatan haram adalah juga haram.

Adapun wakalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap Pemerintah adalah boleh selama tujuannya untuk amar makruf nahi mungkar. Wakalah semacam ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariah Islam.

Namun demikian, harus ditegaskan bahwa pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’i, bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dalam proses pemilihannya tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.
Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem (syariah) Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.
Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.
Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas.
Pemilu Presiden

Pemilu Presiden berbeda dengan Pemilu Legislatif. Presiden bukanlah wakil rakyat; kepadanya tidak bisa diberlakukan fakta wakalah. Dalam hal ini lebih tepat dikaitkan dengan fakta akad pengangkatan kepala negara (nashb al-ra’is) yang hukumnya terkait dengan dua hal: person (orang) dan sistem.

Terkait dengan person, Islam menetapkan bahwa seorang kepala negara harus memenuhi syarat-syarat in’iqâd, yang akan menentukan sah-tidaknya seseorang menjadi kepala negara. Syarat-syarat itu adalah: (1) Muslim; (2) Balig; (3) Berakal; (4) Laki-laki; (5) Merdeka; (6) Adil/tidak fasik; (7) Mampu (yakni mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala negara). Tidak terpenuhinya salah satu saja dari syarat-syarat di atas, membuat pengangkatan seseorang menjadi kepala negara menjadi tidak sah.

Adapun tentang sistem, harus ditegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi kepala negara wajib menerapkan sistem Islam. Ini adalah konsekuensi dari akidah seorang kepala negara yang Muslim. Dalam Islam, tugas utama kepala negara adalah menjalankan syariah Islam serta memimpin rakyat dan negaranya dengan sistem Islam. Memimpin dengan sistem selain Islam tidak akan menghasilkan kebaikan, tetapi justru menghasilkan kerusakan dan bencana. Siapa saja yang memimpin tidak dengan sistem Islam, oleh Allah SWT disebut sebagai fasik dan zalim, bahkan jika secara i’tiqadi menolak syariah Islam, dinyatakan sebagai kafir (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).

Wahai kaum Muslim:

Sikap yang semestinya harus ditunjukkan oleh setiap Muslim dalam menghadapi Pemilu ini adalah:
Tidak memilih calon yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan di atas; tidak mendukung usahanya, termasuk tidak mendukung kampanyenya dan mengucapkan selamat saat yang bersangkutan berhasil memenangkan pemilihan.
Melaksanakan syariah Islam secara utuh dan menyeluruh dengan konsisten; berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam melalui perjuangan yang dilakukan sesuai dengan tharîqah dakwah Rasulullah saw. melalui pergulatan pemikiran (as-shirâ’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Perjuangan itu diwujudkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang secara nyata dan konsisten berjuang demi tegaknya syariah dan Khilafah; serta menjauhi individu, kelompok, jamaah dan partai politik yang justru berjuang untuk mengokohkan sistem sekular.
Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan kritik dan koreksi terhadap para penguasa atas setiap aktivitas dan kebijakan mereka yang bertentangan dengan syariah Islam; tidak terpengaruh oleh propaganda yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekular dan mewujudkan sistem Islam mustahil dilakukan; tidak boleh ada rasa putus asa dalam perjuangan karena dengan pertolongan Allah, insya Allah perubahan ke arah Islam bisa dilakukan, asal perjuangan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Yakinlah, Allah SWT pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya, khususnya dalam usaha mewujudkan tegaknya kembali Khilafah guna melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti’nâfu al-hayâh al- Islâmiyah), yaitu kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariah Islam dan risalah Islam diemban ke seluruh dunia dengan kepemimpinan seorang Khalifah. Khalifah inilah yang akan menyatukan umat dan negeri-negeri Islam untuk kembali menjadi umat terbaik serta memenangkan Islam di atas semua agama dan ideologi yang ada. Kesatuan umat itulah satu-satunya yang akan melahirkan kekuatan, dan dengan kekuatan itu kerahmatan (Islam) akan terwujud di muka bumi. Dengan kekuatan itu pula kemuliaan Islam dan keutuhan wilayah negeri-negeri muslim bisa dijaga dari penindasan dan penjajahan negeri-negeri kafir sebagaimana yang terjadi di Irak dan Afganistan.
Memilih kepala negara yang mampu menjamin negeri ini tetap mandiri dan merdeka dari cengkeraman penjajah; mampu mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan malah membiarkan negeri ini dalam cengkeraman dan dominasi kekuatan asing di segala bidang; mampu meletakkan keamanan negeri ini semata di tangan umat Islam, bukan di tangan warga negara asing; dan tidak membiarkan pengaruh negara penjajah ke dalam institusi tentara dan polisi, apalagi mengijinkan negara asing membuat pangkalan militer di wilayah negeri ini. Sesungguhnya Allah SWT melarang Muslim tunduk pada kekuatan kafir (Lihat: QS an-nisa’ [4]: 141).

Akhirnya, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri ini terus dipimpin oleh penguasa zalim dengan sistem sekular dan mengabaikan syariah Islam yang membuat negeri ini terus terpuruk; ataukah memilih pemimpin yang amanah dan menegakkan syariah Islam sehingga kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan benar-benar akan terwujud. Begitu juga, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri-negeri Muslim tetap tercerai-berai seperti sekarang dan tenggelam dalam kehinaan; ataukah berusaha keras agar bisa menyatu sehingga ‘izzul Islâm wal muslimîn juga benar-benar terwujud.

Wahai umat Islam! Inilah saatnya. Ambillah langkah yang benar. Salah mengambil langkah berarti turut melanggengkan kemaksiatan! []

Komentar Al-Islam:

Gerakan Golput Hanya Rugikan Umat (Republika, 24/3/2009).

Umat lebih rugi lagi jika Pemilu tidak ditujukan untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah.

Demokrasi Bukan Jalan Perubahan Hakiki

Posted by cah_hamfara 22.46, under | No comments

[Al-Islam 447] Kondisi negeri ini meski sudah merdeka dari penjajahan fisik selama lebih dari 63 tahun hingga kini belum juga sampai pada kemakmuran dan kesejahteraan untuk rakyat seutuhnya. Sekalipun reformasi sudah berjalan sepuluh tahun kondisi kehidupan rakyat belum juga membaik. Angka kemiskinan masih juga tinggi. Menurut data BPS, angka kemiskinan pada Maret 2008 sebesar 34,97 juta jiwa. Menurut Menkoinfo, jumlah penduduk miskin pada Maret 2009 sebesar 33,714 juta jiwa, dengan tingkat inflasi 9% (Beritaglobal.com).


Reformasi yang digadang-gadang bisa membawa perubahan mendasar dan luas pada kehidupan negeri ini ternyata juga tidak bisa membuahkan hasil yang diharapkan. Hal itu karena reformasi tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi dan sebagainya. Lebih menyedihkan lagi, sumber-sumber kekayaan negeri ini yang semestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru berpindah ke dalam cengkeraman asing. Aroma pengaruh kekuatan asing pun masih terasa sangat kental di negeri ini. Alhasil, upaya memerdekakan negeri ini secara hakiki belum juga berhasil meski sudah lepas dari penjajahan fisik lebih dari 63 tahun.

Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun telah berhasil menjadikan negeri ini makin demokratis. Bahkan sekarang negeri ini dianggap sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia –setelah AS dan India-. Meski demikian, nyatanya proses demokrasi yang makin demokratis itu tidak korelatif dengan peningkatan kesejahteraan dan kehidupan rakyat yang baik. Padahal demokrasi dan proses demokratisasi dianggap menawarkan perubahan kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Fakta menunjukkan tawaran itu seperti pepesan kosong alias bohong.

Sekarang di tengah euforia proses demokrasi (Pemilu ), perubahan kembali digantungkan pada proses demokrasi. Hampir semua partai politik peserta Pemilu 2009 menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Janji itu tergambar saat deklarasi kampanye damai yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Senin (16/3), yang dihadiri para pemimpin partai dan pendukungnya. Sejak tanggal tersebut hingga jelang masa tenang sebelum Pemilu (9 April 2009), rakyat akan disuguhi berbagai celotehan janji dan mimpi tentang perubahan dengan berbagai macam redaksi dan visualisasi. Apakah benar Pemilu yang kesepuluh kalinya ini akan benar-benar bisa mewujudkan perubahan? Benarkah demokrasi (dengan Pemilunya) bisa menjadi jalan perubahan?

Jika yang dimaksudkan adalah perubahan sekadar perubahan, jelas demokrasi menjanjikan itu. Bahkan dalam demokrasi bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena sistem dan aturan penentuannya diserahkan pada selera akal manusia, sementara selera akal selalu berubah dari waktu ke waktu. Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke depan bisa dinilai sebagai madarat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kepentingan (ego). Artinya, perubahan yang ditawarkan oleh demokrasi itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang terjadi. Di sinilah masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat diasumsikan terwakili oleh satu orang wakil. Tentu saja ini adalah satu hal yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Pada faktanya suara wakil itu lebih mencerminkan suara dan kepentingannya sendiri. Bahkan fakta menunjukkan lebih sering justru kepentingan pihak lainlah yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat itu sendiri dan kelompoknya. Hal itu karena demokrasi itu dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinvestasi melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan menentukan. Ironisnya semua itu selalu diatasnamakan suara dan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan yang terjadi. Jadi demokrasi memang menjadikan perubahan tetapi bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan aktor-aktor demokrasi dan para pemodal mereka.

Lebih dari itu, seandainya dengan demokrasi itu tercipta kondisi yang baik yang sepenuhnya memihak kepentingan rakyat –meski ini selalu saja masih menggantung jadi mimpi- demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung. Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah yang belum tentu menjadi lebih baik. Hal itu karena wakil rakyat dan pemimpin yang baik yang terpilih melalui proses demokrasi itu harus dipilih ulang. Pemimpin yang baik itu dibatasi jangka waktunya dan harus diganti ketika sudah habis. Bahkan setelah jangka waktu tertentu ia tidak boleh dipilih kembali. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik-Kapitalis akan bisa menjadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini. Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki.

Hal itu wajar karena demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan. Lebih dari itu, demokrasi sebagai sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan ada hak membuat hukum. Itu artinya demokrasi menjadikan rakyat –riilnya adalah wakil-wakil rakyat- sebagai pembuat hukum. Sebaliknya, dalam Islam membuat dan menentukan hukum itu adalah hak Allah SWT. Artinya dalam Islam hanya syara’ yang berhak membuat hukum.

Allah telah menjelaskan bahwa hanya Islamlah sistem yang bisa menawarkan kehidupan kepada umat manusia. Hanya Islamlah yang bisa membawa manusia menuju cahaya, sementara sistem selain Islam justru mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan. Allah SWT menegaskan hal itu di dalam firman-Nya:

اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). (QS. al-Baqarah [2]: 257)

Itu artinya hanya sistem Islamlah yang bisa menjamin terwujudnya perubahan dan kehidupan yang baik yang diridhai oleh Alllah SWT. Sistem Islam datang dari Pencipta manusia yang paling mengetahui hakikat manusia, apa yang baik dan yang tidak, yang bermanfaat dan yang madarat bagi manusia.

Dengan demikian, jalan perubahan itu adalah dengan menerapkan Islam sebagai sebuah sistem secara menyeluruh. Perjuangan mewujudkan perubahan hakiki itu tentu saja adalah perjuangan mewujudkan penerapan Islam secara menyeluruh. Dalam konteks ini, sebagian pihak meyakini hal itu bisa dilakukan melalui demokrasi. Jika yang dituju adalah penerapan Islam secara parsial, maka hal itu bisa diwujudkan melalui demokrasi, seperti penerapan hukum waris Islam, pernikahan Islam, ibadah dan hukum-hukum yang bersifat personal lainnya. Hanya saja jika yang dituju adalah perubahan secara menyeluruh dan penerapan Islam secara menyeluruh rasanya mustahil bisa diwujudkan melalui demokrasi. Hal itu karena sebagai sebuah sistem, demokrasi yang dibangun di atas akidah sekularisme tentu tidak akan mentoleransi masuknya agama (Islam) dalam pengaturan hidup bermasyarakat. Secara faktual, kasus FIS yang memenangi Pemilu demokratis di Aljazair dan meraih suara mayoritas toh dianulir oleh militer yang sekular atas dukungan Perancis dan didiamkan (diamini) oleh semua negara dan para pejuang demokrasi. Begitu juga kasus partai Refah di Turki dan Hamas di Palestina mempertegas bahwa perjuangan penerapan Islam tidak mungkin dilakukan melalui demokrasi. Perubahan hakiki itu hanya bisa diwujudkan dengan penerapan Islam secara menyeluruh.
Wahai Kaum Muslim

Sekali lagi demokrasi bukan jalan mewujudkan perubahan yang hakiki. Menggantungkan harapan terjadinya perubahan hakiki kepada demokrasi hanya akan mendatangkan kekecewaan. Fakta yang terjadi di negeri-negeri Islam selama ini sudah menegaskan hal itu. Karena itu, tidak sepantasnya kita masih menaruh harapan pada demokrasi.

Jalan untuk mewujudkan perubahan hakiki, yaitu untuk mewujudkan penerapan Islam secara menyeluruh, hanya bisa dilakukan melalui thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw. Keberhasilan Rasul bersama para sahabat mewujudkan perubahan hakiki dengan menerapkan Islam secara menyeluruh yang berawal dari Madinah lalu menyebarkan perubahan ke negeri-negeri lainnya cukuplah menjadi bukti. Allah SWT menegaskan hal itu dalam firman-Nya:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa. (QS. al-An’âm [6]: 153)

Dengan demikian, jalan perubahan hakiki itu tidak lain adalah dengan dakwah sesuai thariqah Rasul saw untuk menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah Rasyidah. Wallah a’lam bi ash-shawab.[]

KOMENTAR:

PHK Marak, Buruh Gelar Aksi Solidaritas (Kompas, 16/03/2009)

Ironisnya, para pejabat dan elit politik sibuk berkampanye.

Meneladani Kepemimpinan Nabi SAW

Posted by cah_hamfara 22.40, under | No comments

[Al-Islam 446] Kembali umat Islam berada dalam bulan Rabiul Awwal. Bagi sebagian Muslim, bulan Rabiul Awwal adalah bulan istimewa. Alasannya, karena pada bulan inilah Baginda Rasulullah Muhammad saw. lahir, tepatnya tanggal 12 Rabiul Awwal, lebih dari empat belas abad yang lalu. Karena itulah, sebagian Muslim memandang penting untuk memperingati hari kelahiran (maulid) beliau, tentu bukan semata-mata karena kelahiran beliau sebagai seorang manusia. Sebab, meski Muhammad saw. memiliki keistimewaan nasab dan akhlak terpuji, dari sisi kemanusiaan, beliau sama dengan manusia lainnya. Allah SWT sendiri menyatakan demikian:

]قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ[

Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian...” (QS Fushshilat [41]: 6).

Dalam posisinya sebagai manusia, kelahiran Muhammad saw. pun sama dengan lahirnya kebanyakan manusia lainnya saat itu. Jadi, kalaupun hingga hari ini umat Islam memperingati hari kelahiran beliau setiap tahun, tentu karena posisinya yang sangat istimewa sebagai rasul (pembawa risalah/syariah) Allah SWT. Itulah yang ditegaskan oleh Allah SWT:

]قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ[

Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu…” (QS Fushshilat [41]: 6).

Itulah alasan utama sebagian kaum Muslim memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Sikap ini muncul dari rasa cinta (mahabbah) yang mendalam terhadap beliau dalam posisinya sebagai pengemban wahyu/risalah, yang tidak lain merupakan syariah-Nya untuk diberlakuan atas umat beliau.
Mengagungkan atau Mengerdilkan?

Allah SWT berfirman:

]وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ[

Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas khuluq yang agung (QS al-Qalam [68]: 4).

Imam Jalalain dalam kitab tafsirnya menafsirkan kata khuluq dalam ayat di atas dengan dîn (agama). Imam Ibn Katsir—seraya mengutip Ibn Abbas, Mujahid, Abu Malik, As-Sadi dan Rabi bin Anas, Adh-Dhahak dan Ibn Zaid—juga menyatakan bahwa ayat di atas bermakna, “Wa innaka la’alâ dîn[in] ‘azhîm (Sesungguhnya engkau [Muhammad] benar-benar berada di atas agama yang agung),” yakni Islam (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, IV/403).

Terkait ayat ini, Ibn Kasir juga menukil sebuah hadis yang dituturkan oleh Muammar dari Qatadah, bahwa Aisyah Ummul Mukminin ra. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau menjawab, “

Kâna khuluquhû al-Qur’ân (Akhlaknya adalah al-Quran).” (HR Muslim).

Dari penjelasan Ibn Katsir di atas bisa disimpulkan, bahwa keagungan Baginda Nabi Muhammad saw. terletak pada ‘akhlak’-nya, sementara ‘akhlak’ beliau adalah al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain, keagungan akhlak Baginda Nabi saw. adalah cerminan dari keagungan al-Quran, karena memang seluruh budi-pekerti/perilaku Rasulullah saw. mencerminkan seluruh isi al-Quran. Dengan demikian, maksud dari takrîm[an] wa ta’zhîm[an] (memuliakan dan mengagungkan) Rasulullah saw. sebagai motif sebagian kaum Muslim dalam memperingati Maulid Nabi saw. sejatinya tidak lain adalah memuliakan dan mengagungkan al-Quran.

Baginda Nabi saw. memiliki akhlak al-Quran karena beliau mengamalkan seluruh isi al-Quran dan menerapkan hukum-hukumnya, baik terkait dengan perkara akidah (keimanan), ibadah (shalat, shaum, zakat, haji, dll), muamalah (sosial, pendidikan, politik, pemerintahan, keamanan, dll) maupun ‘uqûbât (hukum dan peradilan).

Hanya menjadikan al-Quran sekadar sebagai kitab bacaan bukanlah sikap mengagungkan al-Quran. Hanya mengamalkan sebagian kecil isi al-Quran (misalnya hanya dalam perkara akidah, ibadah dan akhlak saja), bukan pula sikap mengagungkan al-Quran. Sikap demikian justru mengkerdilkan keagungan al-Quran, yang berarti mengkerdilan keagungan Nabi Muhammad saw. sebagai representasi al-Quran.

Anehnya, disadari atau tidak, sikap itulah yang selama ini ditunjukkan oleh sebagian besar umat Islam saat ini. Hal itu terjadi seiring dengan Peringatan Maulid Nabi saw. yang setiap tahun dilaksanakan oleh sebagian kaum Muslim. Berbagai ceramah dan tablig yang disampaikan dalam Peringatan Maulid Nabi saw. dari mulai di mushala-mushala kecil di pinggir kampung hingga di istana negara di ibukota hanya berisi pesan-pesan yang justru mengkerdilkan keagungan Baginda Nabi Muhammad saw. dan kebesaran al-Quran yang dibawanya, bukan mengagungkan keduanya. Bagaimana tidak! Yang sering diserukan oleh mereka hanyalah seruan untuk meneladani akhlak Rasulullah saw. secara pribadi, atau paling banter dalam kapasitasnya sebagai pemimpin rumah tangga. Di luar itu—misalnya dalam posisi Baginda Rasulullah saw. sebagai pemimpin negara/kepala pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan masyarakat—jarang sekali diungkap; seolah-olah hal demikian tidak layak untuk diteladani oleh umat Islam.

Dalam setiap Peringatan Maulid Nabi saw. para penguasa Muslim pun hampir pasti selalu menyerukan tentang pentingnya meneladani akhlak Baginda Nabi Muhammad saw. sebagai pribadi. Namun, tak sekalipun mereka menyerukan pentingnya umat Islam, termasuk penguasanya, untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan masyarakat (di bidang pendidikan, ekonomi, politik, pemerintahan, peradilan, keamanan dll). Padahal semua itu telah dipraktikkan dan dicontohkan secara jelas oleh Baginda Rasulullah saw. dalam hampir separuh episode kerasulannya di Madinah al-Munawwarah pasca hijrah. Yang terjadi, para penguasa tetap menjalankan hukum-hukum kufur yang bersumber dari ideologi Kapitalisme, dan sebaliknya tetap enggan menerapkan hukum-hukum Islam. Di sejumlah negeri Islam, para penguasanya bahkan berusaha keras memerangi siapa saja yang berjuang untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam negara.

Sikap mereka ini persis seperti sikap Abu Lahab. Dalam riwayat penuturan Urwah bin az-Zubair dari Tsuwaibah, mantan budak Abu Lahab yang kemudian pernah menyusui Muhammad saw. saat bayi, disebutkan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena gembira atas kelahiran Muhammad saw. (karena Muhammad saw. memang keponakannya, peny.) (Lihat: HR al-Bukhari dan Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri). Namun pada akhirnya, dia menjadi orang yang paling membenci, memusuhi dan selalu menghalang-halangi dakwah Nabi saw. yang berupaya menyebarluaskan risalah Allah sekaligus menegakkan syariah-Nya.

Jika demikian, dimana letak sikap mengagungkan Baginda Nabi saw., sementara yang terjadi adalah pengkerdilan atas keagungan beliau? Dimana pula letak upaya mengagungkan al-Quran, sementara yang sedang dipraktikkan pada dasarnya adalah pengkerdilan atas keagungan al-Quran?
Meneladani Kepemimpinan Nabi saw.

Sebentar lagi, bangsa Indonesia bakal mengikuti Pemilu 2009, yang tidak lain ditujukan untuk memilih para calon pemimpin yang baru, baik yang duduk di pemerintahan (eksekutif) maupun di DPR (legislatif).
Dalam pandangan syariah, memilih pemimpin bagi kaum Muslim termasuk ke dalam kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Dalilnya antara lain adalah firman Allah SWT:

]أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ[

Taatilah oleh kalian Allah dan Rasul-Nya serta pemimpin di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Ayat ini secara tegas memerintahkan kaum Muslim untuk menaati Allah SWT, Rasul-Nya dan pemimpin mereka. Perintah ini sekaligus berarti perintah untuk ‘mengadakan’ sosok orangnya.

Sejumlah hadis juga mengisyarakatkan bahwa kaum Muslim wajib membaiat (memilih dan mengangkat) seorang khalifah, yakni pemimpin bagi kaum Muslim secara umum. Rasul saw., misalnya bersabda:

«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka dia mati dalam keadaan Jahiliah (HR Muslim).

Hadis ini pun meniscayakan keharusan adanya sosok orang yang harus dibaiat sebagai pemimpin/khalifah.
Ijmak Sahabat semakin menegaskan kewajiban memilih dan mengangkat pemimpin ini. Hal ini dibuktikan oleh sikap para Sahabat yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat wafatnya selama dua malam tiga hari, kemudian mereka lebih mendahulukan upaya memilih dan membaiat khalifah (pengganti) beliau dalam urusan pemerintahan, bukan dalam urusan kerasulan.

Namun demikian, berbicara tentang kepemimpinan seharusnya tidak hanya terbatas pada sosok orangnya, tetapi juga sistem pemerintahan. Semua nash al-Quran dan al-Hadis yang berbicara tentang kepemimpinan senantiasa menyinggung kedua aspek ini, baik secara tersurat maupun tersirat. Baginda Rasulullah saw., misalnya, selain sebagai pengemban risalah, adalah juga seorang kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah). Sistem pemerintahan yang beliau jalankan tidak lain adalah sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan syariah Islam.

Ijmak Sahabat tentang wajibnya mengangkat sekaligus membaiat khalifah pun tidak terlepas dari kedua aspek ini: sosok pemimpin dan sistem pemerintahan yang dijalankannya. Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka adalah sosok para pemimpin Kekhilafahan Islam. Khilafah Islam tidak lain adalah sistem pemerintahan yang didasarkan pada syariah Islam, yang dicirikan dengan penerapan syariah Islam itu secara total dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan bernegara.

Jika memang demikian model kepemimpinan Baginda Nabi Muhammad saw., maka sudah seharusnya umat Islam saat ini pun mencontohnya, sebagai upaya untuk ‘menyempurnakan’ upaya takrim[an] wa ta’zhim[an] terhadap beliau. Upaya ini sekaligus akan menjadi bukti cinta kita yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT, sekaligus bukti bahwa kita benar-benar meneladani Baginda Nabi Muhammad saw.:

]قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ[

Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Lalu mengapa saat ini para penguasa Muslim enggan menerapkan syariah Islam dalam negara sebagai bukti bahwa mereka benar-benar meneladani Rasulullah saw.? Mengapa mereka tidak mau mengatur urusan ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, budaya, pendidikan, peradilan dll dengan hukum-hukum Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam? Mengapa mereka malah tetap menerapkan hukum-hukum kufur produk dari ideologi Kapitalisme dan menentang syariah Islam? Ataukah mereka hendak ‘meneladani’ sikap Abu Lahab yang bergembira menyambut kelahiran Muhammad saw., tetapi pada akhirnya menjadi musuh yang paling sengit terhadap beliau saat beliau menjadi rasul yang berjuang mendakwahkan risalah Allah dan menegakkan syariah-Nya?! Wal ‘Iyâdzu billâh! []

KOMENTAR AL-ISLAM:
Demokrasi Tumbuh Tidak Ideal (Kompas, 10/3/2009)
Tentu, karena demokrasi cacat sejak lahir.

09 Maret 2009

PENDIDIKAN EKONOMI ISLAM SISTEM MASA DEPAN DUNIA BAGI INDONESIA

Posted by cah_hamfara 19.30, under | 3 comments

Oleh : Muhajirin
Mahasiswa STEI Hamfara Yogyakarta Jurusan Manajemen Syariah
ABSTRAKSI
Di dunia ini tidak hanya terdapat system ekonomi kapitalisme dengan mekanisme pasar bebasnya dan system ekonomi sosialisme yang telah runtuh bersama dengan runtuhnya Unisoviet, namun ada sebuah sistem yang pernah Berjaya kurang lebih 13 abad dan terlupakan selama kurang lebih 2 abad hingga kini, yaitu system ekonomi islam
Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar dunia. Namun Indonesia tertinggal jauh dibanding negara-negara timor tengah dan bahkan dari negara tetangganya malaysia dalam merespon lembaga keuangan islam .
Pesan utama ekonomi islam menegaskan bahwa islam adalah suatu sistem yang utuh dan terpadu yang di yakini mampu menjawab tantangan jaman
Ekonomi islam tidak akan pernah terwujud di indonesia, selama umat islam masih memandang islam hanya sebagai a way of worship dan bukan menjadi a way of life .
The final destination telah ada, buat blue print dan strategi untuk mencapai the final destination (islamic economic system) dan lakukan yang bias kita lakuikan.


PENDAHULUAN



Latar Belakang Masalah
Selama kurang lebih 200 tahun, Kapitalisme dengan segala sistem yang di milikinya terbukti telah gagal dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia dan juga masyarakat dunia. Krisis demi krisis terus terjadi dan akan tetap terus terjadi.
Krisis finansial yang terjadi saat ini bukanlah hal yang mengagetkan atau datang secara tiba-tiba. Beberapa tahun silam, banyak kalangan terutama pengamat ekonomi sudah memprediksi bahwa dalam dunia usaha akan terjadi krisis finansial global.
Dampak dari krisis global bagi sektor riil indonesia akan sangat signifikan, ini bukan hanya karena shock ekonomi dunia, namun juga disebabkan oleh pemilihan respon kebijakan yang salah oleh pemerintah .
Kombinasi kebijakan ekonomi yang lemah, mengakibatkan pemerintah tidak mampu melakukan langkah antisipasi serta pemilihan kebijakan yang mendahulukan kepentingan nasional.
Akibat krisis finansial, semua negara ikut merasakan dampak resesi ekonomi negara negara maju yang dimulai dari Amerika Serikat. Apalagi, indonesia belum memiliki paket kebijakan ekonomi yang kuat .
Sebelum terjadinya krisis finansisal yang telah mengguncang dunia saaat ini, juga telah tejadi krisis 1997/1998 yang dimulai dari krisis yag melanda Thailand dan terus berkembang dan menular ke seluruh Asia, Sehingga membuat dunia perbankan dan perekonomian indonesia terguncang. Tahun 1970 terjadi krisis yang telah menciptakan pengangguran yang tinggi, Tahun 1929/1930 juga telah erjadi krisis yang cukup besar yang terkenal dengan sebutan the great depresion. Semua ini adalah bukti kegagalan ekonomi kapitalisme.
Di idonesia, dalam dunia pendidikan khususnya dalam pendidikan ekonomi, para akdemisi , guru dan dosen kebanyakan hanya mengenalkan dua sistem, yang pertama adalah kapitalisme yang telah berada dalam kondisi kritis dan sekarat, serta Sosialisme yang menjadi sistem alternatif dari kapitalisme, yang telah runtuh bersama runtuhnya Unisoviet.
Kebanyakan ekonom dan cendekiawan saat ini tidak tahu atau baakan pura-pura tidak tahu bahwa ada sistem yang pernah kokoh, yang menancap kuat di kedalaman sejarah dan memakmurkan bumi lebih dari pada sistem ekonomi lainya.
Islam yang terlupakan kurang lebih 200 tahun hingga kini, dan pernah berjaya kurang lebih 13 abad. Ekonomi islam sekarang mulai dilihat tidak sebelah mata serta menjadi pembahasan yang sangat menarik bagi para ilmuan dan pengamat ekonomi dunia.
Ekonomi islam dalam masanya bahkan pernah kesulitan dalam menemukan orang miskin untuk diberi harta dari baitul mal kaum muslimin, semua itu karena pengaturan perekonomian menggunakan sistem islam.

Rumusan Masalah
Bagaimanakah para cendekia dan ilmuan muslim berusaha membuktikan kehebatan sistem perekonomian islam demi kesejahteraan masa depan Indonesia.
Kenapa indonesia tertinggal jauh dati pada negeri-negeri yang lain, padahal indonesia dikenal sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim.
Bagaimanakah sistem pendidikan ekonomi islam di Indonesia dalam pencapaian pemahaman bagi masyarakat Indonesia, dan mengembalikan kejayaan islam sebagai rahmatan lil’alamin.

LANDASAN TEORI
Perkembangan Ekonomi Islam (Islamic Economy) baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan positif di tingkat global. Berbagai pusat studi maupun program pendidikan ditawarkan di berbagai kampus favorit dunia untuk membentuk sumber daya insani di bidang ekonomi Islam. Demikian juga lembaga keuangan yang beroperasi dengan prinsip syariah, yang digali dari prinsip-prinsip ekonomi Islam yang selaras dengan ajaran Islam, bermunculan sejak 1970-an yang terus berkembang pesat sampai hari ini.
Islam Adalah Way Of Life
Ekonomi islam tidak akan pernah terwujud selama umat islam masih memandang bahwa islam adalah a way of worship dan bukan sebagai a way of life
Sekarang ekonomi syari’ah sedang mendapatkan momentum, walaupun masih banyak terdapat kesalahan pemahaman akan makna yang sesungguhnya dari ekonomi syari’ah, meyebut kata ekonomi syari’ah, pasti yang tertuju adalah (industri) keuangan atau perbankan.
Sistem Pendidikan Islam
Robert L. Gullick Jr., dalam bukunya, Muhammad, The Educator, menyatakan: Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang. Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa.
Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang diartikan sebagai ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara.
Berdasarkan pemahaman mendasar ini, politik pendidikan suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, politik pendidikan dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.
Sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi sekularisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme dimaksudkan untuk mewujudkan struktur dan mekanisme masyarakat yang sekular-kapitalis atau sosialis-komunis. Seluruh subsistem (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, politik luar, dan dalam negeri, hukum pidana, dll.) yang menopang masyarakat itu ditegakkan berdasarkan asas ideologi yang sama; bukan yang lain. Demikian pula dengan Islam; akan membangun masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideologinya. Model masyarakat yang diciptakannya tentu saja akan berbeda dengan masyarakat yang dibentuk oleh kedua sistem ideologi di atas.
Melalui pengamatan terhadap karakteristik ideologi tersebut, jejak-langkah sistem pendidikan yang berlangsung akan mudah dipahami. Sistem pendidikan sekular-kapitalis melahirkan strategi pendidikan sekular sehingga pada gilirannya akan menciptakan tipologi masyarakat sekular-kapitalis. Begitu pula sistem pendidikan sosialisme-komunis maupun Islam.
Pemahaman tentang karakter ideologi ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang dianut akan menyebabkan pemahaman yang bias terhadap seluruh sistem yang dibangun. Hal itu berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan suatu sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya. Giliran berikutnya, sistem pendidikan yang dijalankan hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.
Pendidikan yang sekular-materialistik saat ini merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
1. Paradigma pendidikan yang didasarkan pada ideologi sekular, yang tujuannya sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya.
2. Kerusakan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni:
1) lembaga pendidikan formal yang lemah; tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya;
2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung;
3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.
Asas yang sekular mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya pada proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Guru/dosen sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara islami turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik. Akhirnya, rusaklah pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Para orangtua juga tidak secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Masyarakat, yang semestinya menjadi media pendidikan yang real, juga berperan sebaliknya, yaitu menegasikan hampir seluruh proses pendidikan di rumah dan persekolahan. Sebab, dalam masyarakat berkembang sistem nilai sekular; mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun tata pergaulan sehari-hari; berita-berita pada media masa juga cenderung mempropagandakan hal-hal negatif.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam
Pendidikan dalam Islam harus kita pahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai/ideologi Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi/akidah Islam.
Secara pasti, tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam arti, cara berpikirnya harus didasarkan pada nilai-nilai Islam serta berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Metode pendidikan dan pengajarannya juga harus dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.
Dalam kerangka ini, diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah (negara), terhadap perilaku peserta didik, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Rangkaian selanjutnya adalah tahap merealisasikannya sehingga dibutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selarasserasi dan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan di atas.
Kurikulum dibangun di atas landasan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islâm dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan serta dipahami cacat-cela dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ilmu harus dikembangkan dalam rangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah Swt. semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapa pun tanpa pandang bulu. Ilmu yang dipelajari ditujukan untuk menemukan keteraturan sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta. Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil manfaat dalam rangka ibadah kepada Allah Swt. karena Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau di bumi untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu yang dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak ditujukan dalam rangka menimbulkan kerusakan di muka bumi atau pada diri manusia itu sendiri.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang berjudul Pendidikan Ekonomi Islam Masa Depan Untuk Indonesia merupakan suatu upaya dalam menggambarkan bahwa ekonomi islam bukan-lah lembaga keuangan syari’ah atau bahkan yang lebih sempit, yaitu perbankan syari’ah dan memberikan wacana kepada lembaga pendidikan dalam menentukan kurikulumnya.

Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan melakukan penelusuran dan penelaahan buku-buku sejarah perekonomian dan literatur-literatur kepustakaan lainya.
Data-data yang dibutuhkan dalam penulisan ini antara lain; Data perkembangan ekonomi islam di dunia dan di Indonesia, perkembangan perbankan syari’ah di indonesia, kerangka dasar dan cakupan ekonomi islam.

Focus Penelitian
Menunjukan posisi perbankan dan lembaga keungan syari’ah dalam ekonomi islam
Menunjukan pendidikan ekonomi islam yang seperti apa yang akan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat Indonesia.
Analisis Data
Pertama, kami memberikan contoh dan fakta kegagalan ekonomi konvensional yang selama ini dipakai dan diterapkan dalam menyelesaikan persoalan ekonomi.
kedua, kami akan memaparkan perkembangn ekonomi islam di dunia internatsional maupan di Indonesia.
Ketiga, kami akan memaparkan tentang kerangka dasar ekonomi islam dan posisi lembaga keungan syari’ah serta posisi lembaga pendidikan ekonomi islam.
Keempat, adalah, bagaimana menjadikan ekonomi islam yang sesungguhnya dapat terealisasikan dan dikembangkan sebagai pendidikan masa depan untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Yang kemudian diakhiri dengan kesimpulan

PEMBAHASAN
Perkembangan Ekonomi Islam Di Dunia
Saat krisis ekonomi pada tahun 1997/1998, banyak bank-bank yang di nyatakan tidak sehat akibat krisis ekonomi yang terjadi di asia tersebut, sehingga pemerintah akhirnya melakukan intervensi untuk menyelamatkan perbankan nasional dan juga perekonomian indonesia, pemerintah mengeluarkan dana BLBI senilai Rp144.5 triliyun .
Namun di sisi lain dalam dunia perbankan nasional, terdapat sebuah lembaga keuangan yang baru muncul dan belum memiliki banyak aset, namun tetap sehat dan tidak banyak terpengaruh oleh adanya krisis 1997/1998, dengan sistem yang islami bank syari’ah dapat tetap betahan dari krisis kaarena bebas dari spread minus sebagai man yang di alami oleh perbankan konvensional.
Keadaan tersebut membuat para ekonom baik praktisi, akademisi atau bahkan pengamat ekonomi lebih membuka mata dan memberikan perhatian terhadap perbankan islami dengan segala kekuatan yang di miliki dalam menghadapi krisis. Tidak hanya di indonesia namun juga di berbagai belahan dunia. Bahkan di negara-negara eropa yang di pelopori oleh Inggris telah mengembangkan model lembaga keuangan dengan menggunakan sistem islam, dan mereka telah membuka tempat pendidikan yang konsen dalam bidang ekonomi islam dalam sektor keuangan dan perbankan. Bahkan singapura sebagai negeri yang penduduknya sebagian besar bukan kaum muslim telah menyatakan diri sebagai negara pusat perbankan syari’ah di Asia
ekonomi Islam dalam tiga dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk kajian akademis di perguruan tinggi maupun secara praktik operasional. Perhatian para ilmuwan kepada ekonomi Islam mulai berlangsung sejak tahun 1960-an-1970an, antara lain dikembangkan oleh, Dr.Kursyid Ahmad dari Pakistan Dr.M.N.Shiddiqy dari Saudi, Dr.M.A.Mannan.dari Bangladesh dan Dr.M.Umer Chapra dari IDB (Islamic Development Bank) , serta sejumlah ekonom muslim lainnya. Buah dari kajian mereka itulah yang menghantar pendirian IDB (Islamic Development) pada tahun 1975 di Jedah dan diselenggarakannya Konferensi Ekonomi Islam Internasional Pertama tahun 1976 di Mekkah. Konferensi Pertama ini dijadikan sebagai momentum awal kelahiran ilmu ekonomi Islam modern.
Sejak tahun 1970-an tersebut kajian ilmiah dan riset tentang ekonomi Islam yang bersifat empiris terus dilakukan dan disosialisasikan ke berbagai negara, sehingga gerakan akademis ekonomi Islam makin berkembang. Sejak tahun 1990-an, studi ekonomi Islam telah dikembangkan di berbagai universitas, baik di negeri-negeri Muslim (khususnya Asia, ; Pakistan, Iran, Malaysia dan Afrika/Mesir) maupun di negara-negara Barat, seperti di Eropa, Amerika Serikat dan Australia. Di Inggris terdapat beberapa universitas yang telah mengembangkan kajian ekonomi Islam (Islamic economics), seperti University of Durham, University of Portsmouth, Markfield Institute of Higher Education, University of Wales Lampeter, dan Loughborough University. Di Amerika Serikat, sebuah universitas paling terkemuka di dunia, yaitu Harvard University, sangat aktif melakukan kajian ekonomi Islam. Para pakar ekonomi Islam di sana mengadakan Harvard Forum yang setiap tahun menggelar seminar dan workshop ekonomi Islam. Di Australia, University of Wolongong juga melakukan hal yang sama. Di Malaysia, kajian akademis ekonomi Islam di Perguruan Tinggi telah dimulai sejak tahun 1983.
Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar dunia. Patut disayangkan karena baru merespon lembaga keuangan islam pada akhir 1990-an, bermula dari rekomendasi lokakarya MUI tentang bunga dan bank tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Indonesia tertinggal jauh dibanding negara-negara timor tengah dan bahkan dari negara tetangganya malaysia.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, juga tidak terlepas dari perkembangan ini. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia antara lain ditandai dengan munculnya Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank yang beroperasi dengan sistem syariah pertama di Indonesia pada 1992.
Munculnya perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Kemunculan bank syariah kemudian diikuti dengan kemunculan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, saham syariah maupun berbagai model keuangan lainnya.

Perkembangan Ekonomi Islam Di Indonesia

Perkembangan sistem keuangan syariah sebenarnya telah dimulai sebelum pemerintah secara formal meletakkan dasar-dasar hukum operasionalnya. legalisasi kegiatan perbankan syariah melalui UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 10 Tahun 1998 serta UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia merupakan jawaban atas permintaan yang nyata dari masyarakat.
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Setelah dikeluarkannya ketentuan perundang-undangan tersebut, sistem perbankan syariah sejak tahun 1998 menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, yaitu sekitar 74 persen pertumbuhan aset per tahun (Bank Indonesia, 2002).
Perkembangan yang pesat ini masih terus berlangsung hingga saat ini. Secara kelembagaan saat ini terdapat 3 bank umum syariah (BUS), 28 unit usaha syariah (UUS), dan 117 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Total kantor BUS dan UUS telah mencapai 609 kantor. Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan office chanelling dan splitover yang memang digalakkan Bank Indonesia untuk mempercepat peningkatan peran perbankan syariah di Indonesia. (lihat Tabel 1)
Tabel 1 Perkembangan Kelembagaan Perbankan Syariah
Kelompok Bank 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008*
Bank Umum Syariah 2 2 3 3 3 3 3
Unit Usaha Syariah 6 8 15 19 20 26 28
BPRS 83 84 86 92 105 114 117
Jumlah Kantor BUS dan UUS 127 299 401 504 531 564 609
*=Posisi s.d. Juni 2008
Sumber: Bank Indonesia, (2008) Statistik Perbankan Syariah Juni 2008.






Tabel 2 Perkembangan Beberapa Indikator Perbankan Syariah (Rp Juta)
Indikator Des 02 Des 03 Des 04 Des 05 Des 06 Nov 07 2008
Aset 4 ,045,235 7,858,918 15,325,997 20,879,849 2 6.722.030 3 3.287.970 42,981,116
Share (%) 0.36 0.74 1.20 1.40 1.77 2.08*
DPK 2,917,726 5,724,909 11,862,117 15,582,329 2 0.672.181 2 5.658.163 33,048,523
Pembiayaan 3 ,276,650 5 ,530,167 11,489,933 15,231,942 20.444.907 26.548.228 34,099,667
NPF 1 34,946 1 29,627 270,179 429,110 971.216 1 .501.323 1,441,528
NPF (%) 4.12 2.34 2.35 2.82 4,75 5,64 4,23
*=Posisi s.d. Mei 2008
Sumber: Bank Indonesia, (2008), Statistik Perbankan Syariah Juni 2008

Pendidikan Ekonomi Islam Di Indonesia
Sejalan dengan maraknya perkembangan perbankan syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah lainnya, maka tumbuh dan berkembang pulalah secara massif program pendidikan ekonomi Islam di Indonesia, sebagai respon terhadap maraknya lembaga –lembaga keuangan syari’ah.
Kajian Akademis Ekonomi Islam di Indonesia telah berkembang pesat di universitas universitas di Indonesia, Universitas Indonesia Sejak tahun 2000 sampai sekarang, telah membuka beberapa konsentrasi ekonomi Islam di Universitas Indonesia untuk Program S2 (Magister), ada konsentrasi perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, Akuntansi Syari’ah, Manajemen Syari’ah, Manajemen Resiko, Zakat dan Waqaf dan sebagainya.
Selain Universitas Indonesia, Perguruan Tinggi yang membuka Program Studi dan jurusan ekonomi Islam adalah Universitas Trisakti, baik program S2 maupun S3 dengan mendatangkan dosen-dosen dari luar negeri. Karena kepedulian kepada ekonomi syari’ah tersebut, maka Thobi Muties (Rektor Trisakti) yang non Muslim mendapat syari’ah Award 2004). Demikian pula Universitas Airlangga Surabaya melalui peran Prof. Dr. Suroso Imam Djazuli, sejak akhir tahun 1990an, mereka telah koncern mengembangkan kajian ekonomi Islam melalui Program pascasarjana (S2) Universitas Gajah Mada juga membuka Konsentrasi Ekonomi Islam untuk Program Pascasarjana (S2). Universitas Brawijaya Malang, IPB Bogor, dan UMI Makasar juga dikenal sangat peduli dan concern pada kajian Ekonomi Islam ditambah beberapa Universitas Muhammadiyah serta beberapa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam, STAIN dan juga IAIN.
Yang menarik dari pendidikan ekonomi islam di indonesia adalah bahwa kelahiran Konsentrasi Ekonomi Islam di S2, justru lebih dahulu lahir dari pada Program S1. Seharausnya, Program S1 lebih dahulu lahir dan berkembang baru program S2. Tapi realitanya sebaliknya. Hal ini disebabkan karena izin membuka Jurusan atau Prodi Ekonomi Islam di S1 lebih sulit daripada Konsentrasi Ekonomi Islam di S2. Pembukaan Konsentrasi Ekonomi Islamdi S2 , tidak membutuhkan izin dari Bimbaga Islam Depag di Jakarta, karena diberi kebebasan kepada program pascasarjana masing-masing untuk membuka konsentrasi tertentu.
Peran IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) yang telah dideklarasikan di Istana Wapres pada tahun 2004 yang lalu, telah berupaya menghimpun para pakar ekonomi Islam dari seluruh Perguruan Tinggi Indonesia, mendorong lahirnya prodi (Program Studi), jurusan atau konsentrasi ekonomi Islam di Indonesia, tidak saja pada program pascasarjana (S2 dan S3), tetapi juga program S1 dan Diploma.
IAEI juga berupaya menyiapkan dosen-dosen ekonomi Islam melalui training-training dosen ekonomi Islam di Indonesia sebagai jalan pintas untuk melahirkan dosen-dosen ekonomi Islam. Kini IAEI disibukkan oleh kegiatan training-training dosen ekonomi Islam, mengkonsultani pembukaan program pascasarjana S2 diberbagai Perguruan Tinggi di Indonesia, dan mendorong pembentukan IAEI di berbagai propinsi dan Kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Namun semua itu masih kami sayangkan, karena isu yang paling kuat dalam wacana ekonomi islam di indonesia hanya berfokus pada lembaga keuangan syari’ah. Apabila orang menyebut ekonomi islam orang akan terfokus dan tertuju pada perbankan syari’ah. Paradigma ekonomi islam adalah perbankan syari’ah inilah yang harus di rubah.
Lembaga pendidikan tinggi atau Perguruan Tinggi yang merupakan basis pemikiran dan perubahan, adalah wahana yang cukup kompeten dalam meluruskan pemahaman yang kurang tepat dan salah tentang ekonomi islam (pemahaman bahwa ekonomi islam adalah perbankan syari’ah), sebagaimana diungkapkan pula oleh Antonio Syafi’i ”Sekarang ekonomi syari’ah sedang mendapatkan momentum, walaupun masih banyak terdapat kesalahan pemahaman akan makna yang sesungguhnya dari ekonomi syari’ah, menyebut kata ekonomi syari’ah, pasti yang tertuju adalah (industri) keuangan atau perbankan.”
Pendidikan ekonomi islam harus mampu memberikan pemahaman yang mendasar tentang Apa itu ekonomi islam dari mana ekonomi islam itu sendiri, yang melandasi munculnya ekonomi islam., dan bagaimana seharusnya ekonomi islam.
Pendidikan ekonomi islam juga harus memberikan pemahaman kepad seganap masyarakat melalui peserta didiknya tentang sistem yang bukan termasuk ekonomi islam, dari mana dan juga bagaimana sistem itu mengatur ekonomi, sehinga tergambar dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah, mana yang boleh diambil dan mana yang harus dibuang. Dengan demikian diharapkan akan tercapai tujuan dari pendidikan ekonomi islam.
Islam adalah pandangan hidup yang menyeluruh yang mengatur segala aspek kehidupan manusia mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan segala aspek kehidupan manusia.
Ekonomi islam tidak akan pernah tercapai selama umat islam masih menganggap bahwa islam adalah a way of worship dan bukan sebagai a way of life.
Kerangka Dasar Ekonomi Islam
Berbicara masalah ekonomi pada hakikatnya adalah berbicara tentang pengelolaan sumber daya, bukan berbicara tentang perbankan (lihat gambar 3) dan dari bagan di bawah ini, posisi perbankan hanya berada pada mekanisme pasar syari’ah yang porsinya dalam mekanisme ini juga hanya menempti seperempat dari pasar yang ada, selain ada pasar keuangan syari’ah, pasar tenaga kerja, pasar barang dan jasa, serta pasar lahan.(lihat gambar 4).
Gambar 3. Sistem ekonomi islam

Gambar 4. Mekanisme pasar syari’ah

PENUTUP
Islam adalah way of life, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik hubunganya dengan Allah (’ubudiyyah), dengan orang lain (mu’amalah) dan dengan dirinya sendiri (akhlaq).
Ekonomi islam adalah satu set aktivitas dari nilai-nilai, intitiusi, dan gabungan dari kegiatan yang berkaitan tentang kebijakan fiskal, moneter, industri, distribusi, (bernegara) yang berbasis pada Al-qur’an dan As-Sunnah.
Ekonomi islam adalah sebuah alternatif dari ekonomi kapitalisme dan juga sosialisme yang akan memberikan jalan keluar dan jawaban dari semua permasalahan dan krisis ekonomi yang selalu terjadi, demi kesejahteraan umat manusia.
Pengembangan ekonomi syari’ah melalui Perguruan Tinggi merupakan upaya strategis untuk melahirkan sumberdaya insani di bidang ekonomi islam, baik ekonomi pembangunan, manajemen, akuntansi, dan di lembaga keuangan syari’ah.
pendidikan ekonomi islam seharusnya memberikan gambaran menyeluruh tentang ekonomi islam, yang bukan hanya perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah dan pelatihan-pelatiahn pengelolaan lembaga keuangan syari’ah, namun lebih jauh dari itu yaitu apa sebenarnya ekonomi islam, dari mana dan bagaimana ekonoi islam mengatur perekonomian. Mengganmabarakan dam memberikan pemahaman dengan jelas tentang sistem-sistem yang lain yaitu kapitalisme yang sedang di ambang kehancuran, dan juga sosialisme yang telah runtuh bersama dengan runtuhnya unisoviet.
Dengan program pendidikan ini, diharapkan lahir para ilmuwan ekonomi Islam berkualitas yang tidak lagi ragu tentang ekonomi Islam, dan dengan gigih mengkaji dan memperjuangkanya (ekonomi islam) agar dapat diterapkan secara sempurna, dan memberikan dampak yaang signifikan terhadaap bangsa indonesia sesuai dengan tuntunan islam serta tuntutan zaman.
Sistem ekonomi islam bukanlah sistem alternatif, namun ekonomi islam adalah sistem pokok yang telah ada sebelum kapitalisme dan sosialisme sebagai sistem alternatifnya ada.
Dalam keadaan seperti ini semuanya tergantung kepada masyarakat indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, mengambil Islam sebagai a way of life atau tetap mengambil islam hanya sebagai a way of worship.
Juga memberikan pilihan bagi para akademisi dan pemerhati ekonomi islam, apakah menganggap ekonomi islam adlah perbankan dan lembaga keuangan syari’ah atau suatu sistem yamg mengtaur segala aspek dalam perekonomian.

DAFTAR PUSTAKA
Antonio M. Syafi’i, catatan panjang bisnis syari’ah, info bank news, edisi khusus festival ekonomi syari’ah
Antonio syafi’i, bank syari’ah wacana ulama dan cendekiawan,. (1999) BI. & Tazkia
An-Nabhani Taqiyuddin, Nidhom al-lslam edisi terjemahan peraturan hidup dalam islam, pustaka thoriqul izzah
Al-wa’ie, Menuju dunia bebas krisis, februari 2009
Bank Indonesia, (2008), Statistik Perbankan Syariah Juni 2008
Hadi, Sutrisno, 1986, Metodologi Research, jilid 3, edisi VII, Jogjakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
http://agustianto.niriah.com/2008/pendidikan-ekonomi-syariah
Jurnal Ekonomi Islam Muamalah, 17 Januari 2007
Karim Adiwarman, international conference of Islamic economic system 2008, STEI Hamfara
Mudrajat kuncoro, Ph.D.,akselerasi ekonomi Islam, jurnal ekonomi islam Muamalah, 17 Januari 2007
M. sholahuddin, SE., MSi. (2007),Asas-Asas Ekonomi islam, Jakarta,PT. Raja Grafindo Persada
Oeblikawula.blogspot.com, Keunggulan Sistem Pendidikan Islam
( Bahan Referensi untuk Bedah Buku ” Strategi Pendidikan Negara Khilafah” karangan : Abu Yasin
di STAIN Tulungagung, Sabtu 19 April 2008 )

Pusat analisa data tempo, fitrio Soeratno, lincolin, (2003) Metodologi penelitian untuk ekonomi dan bisnis, Yogyakarta, UPP YKPN
Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec, Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah bagi Pengembangannya di update dari www. msi-uii.net
Resume, international conference of Islamic economic system 2008, STEI Hamfara
Triono dwi condro Mag., Makalah presentasi International Conference Of Islam Economic System 2008, STEI Hamfara

 
Istrahatnya s'org aktivis adalah suatu kelalain, Laa rohata ba'dal yauum. Teruslah berjuang hingga Allah memenangkan Dien ini atau kita Syahid Karenanya...