Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

23 April 2009

KEMBALILAH ke ISLAM

Posted by cah_hamfara 06.32, under | No comments

[Al-Islam 452] Pemilu Legislatif 2009 telah usai. Meski perhitungan suara belum final, parpol yang diduga kuat bakal menang sudah ‘kelihatan’. Pemenangnya tidak lain Partai Demokrat, dengan raihan suara tertinggi sekitar 20%. Di bawahnya—yang termasuk dalam ’sepuluh besar’—ada Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, Hanura dan PBB.

Jika sebelum Pemilu yang berkembang adalah ‘kontak politik’ atau ‘komunikasi politik’ antar parpol atau elit parpol, maka usai Pemilu, yang mendominasi adalah wacana tentang ‘koalisi’, atau lebih tegasnya lagi ‘kontrak koalisi’. Istilah kontrak koalisi diperkenalkan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono menyusul keunggulannya memimpin perolehan suara sementara Pemilu 2009. Sebagaimana dilontarkan SBY, PD mensyaratkan koalisi 2009 harus didasarkan pada aturan yang mengikat semua pihak.

Sebaliknya, calon pasangan koalisi juga mensyaratkan adanya ‘mahar’ atau ‘mas kawin’; biasanya tidak jauh dari kebersamaan di dalam kabinet pemerintahan baru hasil Pilpres 2009. Sesuai dengan perolehan kursi masing-masing parpol di DPR hasil Pemilu 2009, ada parpol yang menyasar pos RI-2 (wakil presiden), jatah menteri, atau cukup posisi bagi kadernya di sejumlah BUMN. Jika tawar-menawar ’mahar’ sudah pas, koalisi pun dibentuk.

Sejauh ini, PD memang belum menentukan dengan siapa berkoalisi, termasuk menentukan siapa cawapres yang bakal mendampingi capres SBY. Menurut Ketua DPP Partai Demokrat (PD), Anas Urbaningrum, penentuan siapa pendamping SBY akan dilakukan melalui forum Rapat Pimpinan Nasional yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 25 April sampai 26 April 2009 (Republika.co.id, 17 April 2009).

Di sisi lain, Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyatakan, dirinya akan memasang harga tinggi dengan menawarkan posisi cawapres kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) apabila diajak berkoalisi oleh Partai Demokrat (Jakartapress, 20/4).

Adapun PKS dan PPP, meski juga belum pasti, ada tanda-tanda untuk tetap merapat dengan Partai Demokrat. Hal yang sama terjadi pada Golkar. Ini berarti, koalisi Golkar-PD juga ada kemungkinan tetap dilanjutkan sampai 2014.

Meski belum tentu lolos ke Gedung DPR, Partai Bulan Bintang (PBB) juga akan segera memantapkan keputusan koalisi dengan Partai Demokrat. Koalisi tersebut rencananya akan diputuskan secara resmi dalam Musyawarah Dewan Partai (MDP) PBB Senin (20/4) ini. Sekretaris Jenderal DPP PBB, Sahar L Hassan, menyatakan alasan PBB untuk berkoalisi dengan Demokrat adalah nilai historis keduanya yang pernah bersama-sama mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres 2004 (Republika online, 20/4).
Makna Koalisi

Dalam kamus populer Wikipedia, koalisi diartikan sebagai persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, yang dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau didasarkan pada asas manfaat.

Karena bersifat sesaat dan semata-mata didasarkan pada asas manfaat, koalisi memang tidak akan pernah menjadi ikatan yang kuat dan abadi. Saat dipandang bermanfaat, koalisi dibangun dan dipertahankan. Saat sudah tidak membawa manfaat, koalisi dengan mudah dibubarkan dan dicampakkan. Inilah fakta koalisi dalam sistem pemerintahan demokrasi saat ini.

Karena itu, tidak aneh jika sebelum Pemilu 2009, karena merasa bakal menjadi pemenang, Jusuf Kalla dengan Golkar-nya, misalnya, bertekad bulat untuk ‘bercerai’ dengan pasangan koalisinya, yakni SBY dengan PD-nya. Namun, usai Pemilu, dengan melihat raihan suaranya yang jauh meselet dari target, Jusuf Kalla dan Golkar-nya terpaksa harus realistis; berpikir ulang untuk segera kembali ‘rujuk’ dengan SBY dan PD.

Begitu pula Amien Rais. Selama ini, sesepuh PAN ini sering mengkritik dan cenderung kontra dengan Pemerintahan SBY. Namun, usai Pemilu, karena ternyata SBY dengan PD-nya diduga kuat bakal menang, sesepuh PAN ini justru mendorong partainya untuk berkoalisi dengan SBY dan PD.

Mengapa begitu mudahnya parpol-parpol untuk berniat ‘cerai’ dan ‘rujuk’ dalam koalisi di pemerintahan? Tidak lain, menurut Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan Chozin Chumaidy di Jakarta, Senin (23/3), karena orientasinya hanya jangka pendek, yaitu kekuasaan (Gagasmedia.com, 14/4/2009).
Bukan untuk Rakyat

Dengan memperhatikan sepak terjang parpol-parpol yang ada—baik yang sekular maupun yang mengklaim sebagai parpol Islam— dalam hal koalisi, jelas sekali bahwa koalisi hanyalah ditujukan untuk sekadar bagi-bagi kekuasaan, tidak benar-benar dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat. Koalisi sejumlah parpol di Pemerintahan SBY-JK, yang merupakan koalisi hasil Pemilu 2004, membuktikan demikian.

Selama 2004-2009, partai-partai yang berkuasa, baik yang duduk di pemerintahan maupun di DPR, jelas-jelas tidak benar-benar bekerja untuk rakyat. Bahkan ada kesan, mereka bekerja untuk pihak lain, dan justru merugikan rakyat. Contoh: selama periode 2004-2009, pemerintahan koalisi hasil Pemilu 2004 tetap menumpuk luar negeri; menaikkan harga BBM lebih dari 100 persen sehingga sangat berdampak luar biasa terhadap ekonomi rakyat; menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon-Mobil; tidak segera mengambil alih Blok Natuna D-Alpha; membiarkan kontrak karya dan kontrak bagi hasil dengan sejumlah perusahaan asing (seperti Freeport, Chevron, Exxon-Mobil, Inco, dll) yang justru selama ini merugikan rakyat; tunduk pada kekuatan asing; dan lain-lain.

Di sisi lain, selama periode 2004-2009 pula, DPR banyak menghasilkan UU yang justru merugikan rakyat seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Mineral dan Batubara, UU BHP, UU KDRT dll.

Selain itu, selama periode pemerintahan koalisi hasil Pemilu 2004, banyak persoalan besar yang justru kurang diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR. Misal: angka kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat; merajalelanya kasus korupsi; meningkatnya kasus kriminalitas; menjamurnya pergaulan bebas dan narkoba; munculnya sejumlah aliran sesat seperti Ahmadiyah; merebaknya kasus-kasus makanan beracun atau mengandung zat-zat haram; dll.

Jika demikian, koalisi yang akan kembali dijalin oleh sejumlah parpol setelah Pemilu dan Pilpres 2009 dipastikan akan mengulang koalisi 2004: sekadar dimaksudkan untuk memenuhi ’syahwat kekuasaan’ parpol dan elit parpol, seraya mengorbankan rakyat.
Arti Perjuangan Islam

Koalisi atas dasar sikap pragmatis (sekadar demi kepentingan sesaat), sebagaimana ditunjukkan di atas, seharusnya tidak dilakukan partai-partai Islam. Pasalnya, partai Islam, sejak awal berjuang demi Islam. Berjuang demi Islam hakikatnya bermakna berjuang demi tegaknya hukum-hukum Allah SWT alias syariah Islam. Perjuangan demi tegaknya syariah Islam tentu tidak bisa dilakukan dengan segala cara. Dalam Islam tidak dikenal kaidah: Al-Ghâyah tubarrir al-washîlah (Tujuan menghalalkan segala cara). Tidak bisa, dengan alasan demi Islam, cara-cara yang justru bertentangan dengan Islam digunakan. Berkoalisi dengan partai-partai sekular—yang jelas-jelas akan mengukuhkan sistem sekular dan semakin menyingkirkan hukum-hukum Allah SWT—jelas tidak dibenarkan. Tindakan demikian bisa dikatakan sebagai tolong-menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Padahal Allah SWT justru memerintahkan sebaliknya: agar kaum Muslim tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah SWT berfirman:

]وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[

Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras azab-Nya (QS al-Maidah [5]: 2).

Lebih dari itu, jika memang berjuang demi Islam, seharusnya partai-partai Islam tetap istiqamah di jalan Islam; tidak tergoda untuk berkoalisi dengan siapa saja yang bisa menjauhkan dari Islam dan malah mengukuhkan kekufuran. Sudah seharusnya kita berkaca pada sikap Rasulullah yang tetap istiqamah di dalam manhaj dakwah yang beliau tempuh meski beliau pernah ditawari oleh orang-orang kafir Qurays dengan tawaran yang sekilas sangat menggiurkan: takhta, harta dan wanita; dengan syarat, beliau menghentikan dakwah Islam. Namun, beliau sama sekali menolaknya dan tidak menggubrisnya. Padahal, jika mau, beliau saat itu bisa langsung berkuasa dan memiliki harta yang banyak. Dalam hal ini, Rasul malah tegas mengatakan:

«وَاَللّهِ لَوْ وَضَعُوا الشّمْسَ فِي يَمِينِي، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ اللّهُ أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ مَا تَرَكْتُهُ».

Demi Allah, andai mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan urusan (agama) ini, maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh Allah, atau aku binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meninggalkannya (HR Ibn Hisyam).

Tawaran koalisi dari partai-partai sekular pada dasarnya tidak ada bedanya dengan tawaran orang-orang kafir Qurays kepada Rasulullah saw. Sebab, jelas-jelas, dalam koalisi, ideologi dan idealisme partai harus benar-benar ditanggalkan dan dicampakkan. Tidak mungkin partai Islam berkoalisi dengan partai-partai sekular jika mereka tidak meninggalkan ideologi dan idealismenya.

Sayangnya, itulah yang telah, sedang dan akan dilakukan kembali oleh partai-partai Islam. Akibatnya, yang ada di benak tokoh-tokoh partai Islam adalah bagaimana agar mereka mendapatkan ‘jatah’ kekuasaan; entah sebagai cawapres, menteri, atau pimpinan BUMN. Niat awal untuk menegakkan Islam dan memperjuangkan tegaknya syariah sama sekali ditinggalkan. Ini tentu saja menyedihkan karena nyata-nyata telah menyimpang dari hukum-hukum Islam sekaligus dari manhaj perjuangan Rasulullah saw. yang tidak pernah berkompromi apalagi berkoalisi dengan kemungkaran. Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Semua kejelekan di muka bumi ini—fitnah, musibah, paceklik dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah karena kita menyimpang dari manhaj Rasulullah saw. dan mengajak manusia bukan kepada Allah SWT (Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatawâ, XV/25).
Kembalilah ke Islam!

Parpol Islam sudah seharusnya kembali pada ideologinya, yakni ideologi Islam, dan merujuk hanya pada hukum-hukum Islam. Sebaliknya, sudah saatnya partai-partai Islam meninggalkan sikap pragmatis hanya demi mewujudkan kemaslahatan dan kepentingan jangka pendek: sekadar mengincar kursi dan jabatan. Jika itu yang selalu dilakukan, berarti selama ini asas Islam yang menjadi asas partai hanyalah simbol belaka. Adapun isinya sama saja dengan partai-partai sekular. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-islam:

16 April 2009

‘Pesta Demokrasi’: Bukan ‘Pesta Perubahan’

Posted by cah_hamfara 19.12, under | No comments


[Al-Islam 451] Dalam sistem sekular saat ini, Pemilu sering disebut dengan ’Pesta Demokrasi’. Layaknya sebuah pesta, Pemilu hanyalah luapan kegembiraan sesaat. Kegembiraan itu ditandai antara lain oleh menjamurnya partai peserta Pemilu; ribuan caleg; jutaan spanduk, baliho dan stiker; ramainya media cetak dan elektronik oleh iklan politik; hingar-bingar pidato dan janji-janji para tokoh partai dan para caleg; gegap-gempitanya kampanye yang dibumbui aneka ragam acara hiburan; plus biaya triliunan rupiah.

Namun, layaknya pesta, setelah usai, kondisinya kembali ke keadaan semula. Tidak ada yang berubah setelah Pemilu. Dengan membaca hasil Pemilu sepekan yang lalu, setidaknya berdasarkan perhitungan Quick Count LSI, jelas bahwa partai Pemerintah dan partai-partai besarlah yang tetap menjadi jawara. Yang berbeda hanyalah peringkatnya saja. Partai Demokrat kini di peringkat pertama, mendapatkan 20.27% suara; diikuti Golkar: 14.87% suara, PDIP: 14.14% suara, PKS: 7.81% suara, PAN: 6.05% suara, PPP: 5.32% suara, PKB: 5.25% suara, Gerindra: 4.21% suara, Hanura: 3.61% suara dan PBB: 1.65% suara (TVOne, 9/4/2009). Dengan hasil seperti ini, terbukti bahwa Pemilu tidak membawa perubahan. Pemilu bahkan semakin mengokohkan partai Pemerintah yaitu Partai Demokrat, Golkar serta koalisi partai pemerintah seperti PKS, PPP, PKB dan PBB.

Karena itu, mereka yang terlanjur percaya bahwa Pemilu dalam sistem demokrasi bisa menghasilkan perubahan tampaknya harus kembali ‘gigit jari’. Pasalnya, Pemilu memang sekadar dimaksudkan untuk memilih orang, seraya berharap orang yang terpilih lebih baik daripada yang sebelumnya. Pemilu sama sekali menafikan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar orang-orang terpilih, tetapi juga sistem yang terpilih. Dengan kata lain, Pemilu sama sekali melupakan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar pergantian orang (penguasa dan wakil rakyat), tetapi juga pergantian sistem pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dll dengan yang jauh lebih baik. Wajarlah jika usai Pemilu Legislatif ini, juga Pemilu Presiden nanti, perubahan untuk Indonesia yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat negeri ini tidak akan pernah terwujud, selama kebobrokan sistem sekular yang tegak berdiri saat ini tidak pernah disoal, dikritik dan diutak-atik, sekaligus diganti, karena sudah dianggap sebagai sistem yang baik.

Memang masih ada segelintir orang yang menyerukan pemenangan Islam melalui Pemilu. Padahal mereka tahu, bahwa belum pernah ada sejarahnya Islam bisa menang melalui Pemilu. Sebut saja Masyumi dan NU, yang masing-masing memenangi 112 dan 91 kursi pada pemilu 1955. Namun, akhirnya toh keduanya tetap tidak bisa memerintah. Masyumi kemudian dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960. Hal yang sama juga terjadi pada FIS di Aljazair. FIS yang menang pada Pemilu 1991 putaran I, dan menguasai 81% kursi parlemen, lalu menang telak pada Pemilu putaran II pada tahun yang sama, akhirnya dibubarkan oleh junta militer. Hal yang sama juga terulang pada Hamas, sebagai pemenang Pemilu di Palestina. Sejak mendominasi Parlemen Palestina melalui Pemilu demokratis hingga kini, Hamas terus dipojokkan, dikucilkan, bahkan berusaha disingkirkan oleh kekuatan-kekuatan sekular dan pihak asing.

Karena itu, mengharapkan terjadinya perubahan, apalagi kemenangan Islam, melalui Pemilu jelas tidak mungkin. Daripada berharap pada sesuatu yang tidak mungkin, lebih baik seluruh potensi umat dikerahkan untuk membangun ‘jalan baru’, yaitu jalan yang pernah ditempuh oleh Baginda Nabi saw. dalam mewujudkan perubahan. Jalan perubahan yang ditempuh Baginda Nabi saw. terbukti telah mampu mengubah bangsa Arab, dari bangsa yang tidak mempunyai sejarah, sampai akhirnya menjadi pemimpin dunia.

Jalan baru ini bukan saja dibutuhkan oleh Indonesia, tetapi juga seluruh umat manusia di dunia. Betapa tidak. Setelah Islam tidak lagi berkuasa, tepatnya setelah institusi Khilafah diruntuhkan pada tanggal 3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H, dunia telah jatuh ke dalam genggaman Kapitalisme dan Sosialisme. Hasilnya, sebelum krisis keuangan global, ada 4 miliar jiwa, atau separuh penduduk dunia hidup, di bawah garis kemiskinan; 90% kekayaan dunia hanya dikuasai 20% penduduk dunia, sementara 10% sisanya harus dibagi 80% penduduk dunia yang lainnya. Ketika krisis keuangan menerpa dunia sejak 2007 hingga sekarang, para pemimpin G-7 tidak mampu memikul beban krisis tersebut. Mereka pun melibatkan para pemimpin G-20. Dalam pertemuan mereka di London baru-baru ini, disepakati paket stimulus (pendorong) ekonomi sebesar 5 triliun dolar AS. Lebih dari 700 miliar dolar AS di antaranya digunakan untuk membantu IMF. Apa yang mereka sebut stimulus ekonomi, bailout maupun yang lain, nyatanya bukan untuk menyelamatkan kelompok 80% penduduk dunia yang lebih membutuhkan, tetapi justru untuk membantu kelompok 20%, dan tidak lain untuk mempertahankan penjajahan mereka terhadap dunia.

Di Indonesia sendiri, pada tahun ini terdapat 10,24 juta rakyat mengganggur; 33 juta lebih hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan jika menggunakan standar Bank Dunia, angkanya bisa mencapai 100 juta orang. Sebanyak 90% kekayaan migas kita juga telah dikuasai oleh kekuatan asing. Belum lagi kekayaan alam yang lainnya. Lihatlah, kekayaan alam kita yang melimpah ternyata hanya menyumbang 20% pendapatan dalam APBN; 75%-nya diperoleh dengan ‘memalak’ rakyat, melalui pajak; sisanya 5% dari perdagangan, dan lain-lain.

Inilah realitas sistem Kapitalisme Sekularisme dan Liberalisme yang mencengkeram kehidupan umat Islam, termasuk di negeri ini.

Jadi, masihkah kita berharap pada sistem yang rusak seperti ini, yang terbukti telah menghempaskan dunia, termasuk Indonesia, ke dalam jurang kehancuran? Orang yang berakal sehat, tentu akan menjawab tidak. Itulah mengapa, seorang Angela Merkel, Kanseler Jerman, beberapa waktu lalu pernah menyatakan, bahwa dunia membutuhkan sistem alternatif.
Kembalikan Kedaulatan Syariah!

Masalah pokok yang menimpa umat Islam saat ini di dunia, termasuk Indonesia, sesungguhnya berpangkal pada tidak hadirnya kedaulatan Asy-Syâri’—Allah SWT—di tengah-tengah kehidupan mereka. Yang justru bercokol selama puluhan tahun justru ‘kedaulatan rakyat’ yang semu. Pasalnya, di Parlemen, selalu yang duduk adalah segelintir orang yang sering justru tidak memihak rakyat, tetapi lebih sering memihak pengusaha, para pemilik modal dan bahkan kekuatan asing. Rakyat malah sering hanya dijadikan ‘sapi perahan’ oleh para wakilnya di Parlemen. UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU BHP dll yang dihasilkan oleh Parlemen pada faktanya lebih ditujukan untuk memenuhi kehendak para pemilik modal dan kekuatan asing. Rakyat sendiri tidak tahu-menahu duduk persoalannya. Padahal semua UU tersebut justru berbahaya bagi mereka dan berpotensi menjadikan mereka hanya sebagai korban. Sebelum sejumlah UU di atas diberlakukan saja, negeri ini telah dilanda berbagai persoalan cabang seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakstabilan politik, korupsi, nepotisme, perpecahan, penguasaan kekayaan alam oleh segelintir orang, dominasi kekuatan penjajah atas berbagai sumber kekayaan alam kaum Muslim, penjajahan fisik di sejumlah wilayah, dan merebaknya perbuatan-perbuatan tidak bermoral. Semua itu tidak lain sebagai akibat tidak tegaknya kedaulatan syariah akibat disingkirkannya al-Quran sebagai pedoman hidup. Mahabenar Allah Yang berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).

Kewajiban Menegakkan Khilafah

Menegakkan kedaulatan syariah adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi kaum Muslim. Satu-satunya lembaga yang mampu mewujudkan kedaulatan syariah itu hanyalah Daulah Islam seperti zaman Nabi saw., atau yang kemudian dikenal setelah Nabi wafat sebagai Khilafah, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah (yang tegak berdiri di atas manhaj Nabi saw.) Inilah yang telah dibuktikan oleh sejarah Kekhilafahan Islam selama berabad-abad.

Dalam sistem pemerintahan Islam (Kihlafah), negara ditopang oleh sejumlah struktur yang ditetapkan oleh syariah, antara lain khalifah, para mu’awin (pembantu khalifah), para wali (gubernur), hingga para qadhi (hakim), petugas administrasi dan majelis umat. Dalam sistem ekonomi Islam terdapat berbagai hukum syariah yang berkaitan dengan tanah dan kepemilikan, aturan-aturan tentang industri, serta perdagangan domestik dan luar negeri. Terkait dengan politik luar negeri Khilafah, kita juga akan menemukan hukum-hukum syariah tentang tentara Islam berikut persiapan yang harus mereka lakukan dalam rangka menghadapi tugas-tugas yang diemban, yaitu menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Khatimah

Benar. Dunia, termasuk Indonesia, memang membutuhkan sistem alternatif. Sistem itu adalah sistem Khilafah, bukan yang lain. Bahkan keyakinan semacam ini pun berkembang di kalangan intelijen dan ahli strategi. Baru-baru ini AM Hendopriyono menyatakan, “Setelah tesis Liberalisme-Kapitalisme gagal mensejahterakan dunia, Kekhilafahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun Khilafah Universal. Hanya sistem inilah yang bisa mengatur dan mensejahterakan dunia, karena tatanan Sekular-Kapitalisme telah gagal.” (Sabili, no 19 TH XVI, 9 April 2009, hlm. 28).

Pernyataan seperti ini memang bukan hal baru. Bahkan ahli strategi AS dan Rusia, termasuk NIC, sebelumnya pernah menyatakan bahwa Khilafah akan tegak kembali.

Inilah jalan baru yang dibutuhkan oleh dunia, termasuk Indonesia saat ini. Jalan inilah yang akan mengubah wajah dunia yang didominasi oleh kezaliman menjadi wajah dunia yang adil dan makmur. Jalan itu pun telah dirintis oleh Hizbut Tahrir sejak tahun 1953. Dari bagian barat, ruangan Masjidil Aqsa, 56 tahun silam, jalan baru itu dirintis oleh seorang pemikir, politikus ulung dan mujtahid mutlak, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Kini jalan baru itu telah diemban oleh jutaan umat Islam dan berkembang di lebih dari 40 negara. Wajar jika ada yang mengatakan, Hizbut Tahrir saat ini telah menjelma menjadi kelompok politik terbesar di seluruh dunia, bukan hanya di Dunia Islam, tetapi juga di Barat dan Timur. Tentu saja, semuanya ini berkat komitmen dan keteguhannya, dan yang pasti berkat izin dan pertolongan Allah SWT semata.

Hizbut Tahrir bersama umat Islam di seluruh dunia kini siap menyongsong kabar gembira, yakni dengan kembalinya Khilafah ’ala minhaj an-Nubuwwah.

وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ () بِنَصْرِ اللَّهِ

Pada saat itulah, hati seluruh kaum Mukmin akan bergembira karena pertolongan Allah (QS ar-Rum [30]: 4-5).

10 April 2009

DEMOKRASI: CALEG SIAP MASUK RUMAH SAKIT JIWA

Posted by cah_hamfara 05.38, under | No comments


Oleh : A’an Sutihan Al-bantany
Mahasiswa STEI Hamfara Yogyakarta

Gangguan jiwa siap ancam caleg!! Beberapa rumah sakit jiwa sudah banyak yang menanti kedatangan para caleg yang gagal terpilih masuk kekursi impiannya. Pihak Rumah Sakit Jiwa sudah mempersiapkan ruangan VIP untuk para caleg tersebut. Pasca pemilu 2004 sebanyak 76,51 % pengisi rumah sakit jiwa adalah caleg yang gagal terpilih. Terbukti demokrasi adalah penghasil orang-orang gila.
Di madura seorang istri salah satu caleg menjadi gila karena rumahnya dijual untuk biaya kampanye sebesar Rp 800 jt. Caleg asal Lampung Selatan, Reza fadhillah dan Anshorullah dari PPI rela terjun kedunia kejahatan dengan membawa 12 kg ganja ke Jakarta untuk dijual dengan nilai Rp 26 jt untuk keperluan kampanye, yang akhirnya di tangkap oleh polisi di Bakauheni ahad malam (22/02/09). Di Jakarta, seorang caleg ditangkap polisi karena diduga telah mencuri sepeda motor di depan sebuah rumah makan rekannya.
Fakta membuktikan, Tantowi Yahya memerlukan dana sekitar Rp 1,5 M untuk caleg sumsel, Jeremy Thomas sudah habis Rp 450 jt (sebelum kampanye) untuk caleg Riau, yang lebih mengejutkan lagi sampai ada yang rela menunggakkan SPP anaknya dan mengeluarkan Rp 70 jt padahal assetnya hanya Rp 50 jt. Belum lagi fakta-fakta lain baik caleg maupun capres dan cawapres yang tentu lebih besar lagi dana yang dibutuhkan. “Demokrasi memang mahal” kata Rizal Malaranggeng. Pertanyaannya, apakah dana yang dikeluarkan oleh para caleg, murni diambil dari ’dompet’nya?
Indonesia dalam pemilu tahun ini mendapat dana hibah dari Negara-negara Asing. Seperti pemerintah Inggris mengucurkan bantuan senilai 1 ji poundsterling (US$ 1,4 juta). Selain Inggris negara lain yang nyokong uang adalah Australia sebesar $ 7,3 jt dolar Australia, Belanda US$ 1 jt dan pemerintah Spanyol sebesar US$ 1,8 jt. Sedangkan Amerika melalui USAID menyumbangkan dana sebesar US$ 7 juta. Pertanyaannya, Apakah dana tersebut dikeluarkan oleh mereka (Asing) diberikan secara cuma-cuma ke negara kita, tanpa ada niat terselubung dibalik pemberiannya?
Bagi para caleg yang lolos (terpilih) nanti hanya akan menjadi jejongos para kapitalis yang sudah membantu keterpilihannya. Terbukti dari para anggota legislatif (yang terpilih pada pemilu 2004 dan tahun-tahun sebelumnya) selalu berpihak kepada Asing yang notabenenya penjajah. Karena melalui tangan merekalah Asing dapat mengeruk habis seluruh kekayaan alam Indonesia. Bukan hanya itu saja, negara yang penduduknya mayoritas islam ini, aqidahnya diacak-acak oleh mereka (yahudi) yang tidak pernah suka kepada umat islam dan jug mereka mencoba memecah belahnya. Bodohnya orang islam yang masuk parlemen tunduk dan paling penakut terhadap barat. Makanya hampir semua UU yang dihasilkan anggota legislatif berujung memihak para kapitalis Asing daripada rakyatnya. Seperti UU MIGAS, UU Permodalan, UU BHP, UU Pornografi dan aksi dan masih banyak lagi. Sungguh keterlaluan!!
Terus bagaimana dengan mereka yang tidak lolos dalam pemilu tahun ini? Apakah perasaannya tenang? Kalau tenang, terus mengapa beberapa pihak Rumah Sakit Jiwa menyiapkan kamar VIP untuk mereka? Ternyata, pasca pemilu tahun 2004 lalu sebanyak 76,51 % pengisi Rumah Sakit Jiwa adalah para caleg yang gagal terpilih. Bagaimana tidak jadi gila? Sementara uang yang dihambur-hamburkan sedemikian banyak. Seperti yang dikutip diatas, para caleg sampai nekat menjual rumah, SPP anak ditunggakkan, hutangpun dimana-dimana dan buruknya kebathilan menjadi jalan pintasnya. Seperti melakukan pencurian, jual obat-obatan terlarang dan lain-lain. Naudzu billah! Kenapa bisa demikian? Tak lain dan tak bukan inilah akibat dari sistem yang bobrok. Demokrasi. Mereka lupa bahwa apa yang dikerjakannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti dan akan mendapat balasan yang setimpal. Sebagaimana firman Allah swt;

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Al-Zalzalah: 7-8)
Oleh karena itu, penulis mengajak kepada seluruh kaum muslimin untuk bersatu menjadikan islam sebagai ideology dan peraturan hidup yang didasarkan pada Al-qur’an dan Sunnah Rosulullah saw. Hanya islamlah yang akan menyelamatkan kehidupan umat dan tidak akan tersesat untuk selama-lamanya. Sebagaimana sabda Rosul :

“ Telah Aku tinggalkan dua pusaka yang jika kamu sekalian berpegang teguh pada keduanya, maka kamu tidak akan tersesat untuk selama-lamanya yaitu; Al-qu’an dan sunnahku “. (Al-Hadits)
Allah swt telah berjanji bahwa islam akan tegak kembali didunia ini, sebagaimana firman-Nya;

Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nuur: 55)

Mari kita bersama-bersama mewujudkannya. Allahu Akbar!!

Bagi para pembaca : setelah membaca tulisan ini, tolong kirimkan kritik dan sarannya..ke alamat e-mail: an_albantany@yahoo.com syukron. Jazakallah khoiran katsiraan

INGAT.... SETIAP PILIHAN AKAN DITANYA OLEH ALLAH

Posted by cah_hamfara 05.32, under | No comments


[Al-Islam 450] Pemilu 2009 sudah digelar. Kamis, 9 April 2009, rakyat negeri ini yang mayoritas Muslim serentak melakukan pencontrengan tanda partai/gambar caleg yang menjadi pilihannya, meski sebagian mereka ada yang lebih memilih ‘golput’.
Sejak awal Pemilu 2009 ini diduga bakal rumit. Pemilu 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan: anggaran biaya yang besar; proses pembahasan UU Pemilu yang cukup alot, verifikasi parpol calon peserta yang rumit, pengesahan 38 parpol peserta Pemilu yang demikian banyak (melebihi parpol peserta Pemilu pertama tahun 1955), penetapan jumlah ‘suara terbanyak’ oleh MK untuk para caleg yang menuai perdebatan, serta munculnya sejumlah kasus teknis seperti kemungkinan terlambatnya pasokan logistik Pemilu ke sejumlah derah hingga dugaan adanya manipulasi seputar DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Pada hari H pelaksanaan pemungutan suara juga rumit. Bayangkan, pemilih harus membuka kertas suara seukuran halaman satu muka koran yang di dalamnya terdapat daftar 38 parpol dan ratusan nama caleg. Pemilih bisa pusing dibuatnya. Dari sini potensi suara tidak sah menjadi makin besar.

Selain rumit, Pemilu sekarang juga menyimpan potensi ledakan masalah sosial, yaitu ledakan para caleg yang stres atau frustasi karena gagal menjadi anggota legislatif. Bayangkan, di tingkat kabupaten/kota saja, ada 1,5 juta orang bersaing untuk merebut 15.750 kursi DPRD II. Dengan kata lain, dipastikan 1.484.250 orang atau 98,9% caleg DPRD II gagal meraih impiannya. Jika angka itu ditambahkan dengan jumlah para caleg yang gagal duduk di DPRD I dan DPR maka akan ada 1.605.884 caleg di seluruh Indonesia yang berpotensi stres atau frustasi. Pasalnya, mereka sudah mengeluarkan biaya puluhan juta, atau ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk kampanye Pemilu. Padahal, uang sebesar itu, selain dari sumbangan pihak lain, tidak jarang juga merupakan hasil dari ‘menguras’ harta-bendanya, atau bahkan ngutang sana-sini.

Ini tentu berbahaya. Bahayanya adalah jika para caleg yang gagal tidak bisa menerima kegagalan. Lalu karena frustasi, ia tidak bisa menahan diri dan bahkan melibatkan massa pendukung untuk memprotes KPU, MK atau pihak lain. Pintu chaos bisa saja terbuka. Tentu saja, semua ini tidak diharapkan.

Tanggung Jawab di Akhirat

Tidak sebagaimana rumitnya penyelenggaraan Pemilu dalam sistem demokrasi seperti di atas, sikap seorang Muslim yang seharusnya secara syar’i terhadap Pemilu itu sendiri sebetulnya sederhana. Intinya, setiap pilihan ada hisabnya di sisi Allah SWT, termasuk memilih untuk tidak memilih alias ’golput’. Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim merenungkan kembali pilihannya yang telah ia lakukan saat Pemilu. Kesalahan memilih tidak hanya berakibat di dunia, tetapi juga di akhirat. Akibat di dunia adalah terpilihnya orang-orang yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak amanah dan tidak memperjuangkan tegaknya syariah Islam, bahkan semakin mengokohnya sistem sekular yang nyata-nyata bobrok dan bertentangan dengan Islam. Semakin kokohnya sistem sekular tentu akan semakin memperpanjang kemungkaran. Bukankah dalam sistem sekular hukum-hukum Allah selalu disingkirkan? Semakin kokohnya sistem sekular tentu juga akan semakin memperpanjang penderitaan kaum Muslim. Bukankah sistem sekular memang telah mengakibatkan umat ini terus menderita, justru di tengah-tengah kekayaan mereka yang melimpah-ruah? Adapun akibat di akhirat karena kesalahan dalam memilih tentu saja adalah dosa dan azab dari Allah SWT.

Karena itu, dengan dasar keimanannya kepada Allah SWT, seorang Muslim sejatinya tetap menata dan menyelaraskan setiap perbuatannya, termasuk pilihannya, dengan tuntunan yang datang dari Allah SWT melalui Rasulullah saw. Setiap perbuatan dan pilihan manusia harus terikat dengan syariah. Tentu karena setiap perbuatan/pilihan manusia, sekecil apapun, akan dihisab oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

]وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ[

Siapa saja yang mengerjakan perbuatan baik, sekecil apapun, ia akan melihat balasan kebaikannya. Siapa saja yang mengerjakan perbuatan buruk, sekecil apapun, ia akan melihat balasan keburukannya (QS al-ZaIzalah [99]: 8).

Dengan demikian, setiap Muslim wajib mengetahui status hukum syariah atas setiap perbuatan/pilihan yang hendak dia lakukan; apakah termasuk haram, wajib, sunnah, makruh atau mubah (halal). Lima tolok-ukur hukum inilah yang harus dijadikan rambu-rambu dalam kehidupan dunianya, bukan yang lain, semisal asas kemanfaatan. Jika asas manfaat yang dijadikan ukuran untuk menetapkan status hukum perbuatan manusia, ini sama saja dengan menjadikan hawa nafsu dan akal sebagai sumber hukum. Sikap demikian jelas batil dan dosa besar di sisi Allah SWT. Sebab, hanya Allahlah Al-Hâkim (Pemilik kedaulatan untuk memberikan status hukum atas setiap perkara), sebagaimana firman-Nya:

]إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ[

Sesungguhnya hak membuat hukum itu hanya ada pada Allah (QS al-An’am [6]: 57).

Lebih dari itu, setiap sikap dan pilihan, termasuk dalam Pemilu, akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT kelak:

]أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى[

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS al-Qiyamah [75]: 36).

Bukan Sekadar Memilih Orang

Terkait dengan Pemilu, dalam satu kesempatan bertepatan dengan Peringatan Maulid Rasul saw. beberapa waktu lalu, Wapres RI Jusuf Kalla pernah menghimbau, ”Pilihlah pemimpin seperti Nabi saw.; pemimpin yang baik perlu untuk memperbaiki legislasi (pembuatan undang-undang, red.).” (Republika, 18/3).

Tentu benar, memilih pemimpin seperti Nabi saw. adalah ikhtiar yang harus kita lakukan. Namun, tentu kita pun harus memilih sistem/aturan yang digunakan oleh Nabi saw. dalam kepemimpinannya. Dalam konteks negara, jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Nabi saw., maka kepemimpinan Nabi saw. di Madinah al-Munawwarah—yang saat itu merupakan Daulah Islamiyah (Negara Islam)—itulah yang mesti diteladani dan dijalankan. Saat itu, sebagai kepala Negara Islam, Nabi saw. hanya menerapkan sistem Islam dalam mengatur negara. Dengan kata lain, hanya dengan syariah Islamlah Nabi saw. saat itu mengatur masyarakatnya.

Karena itu, seandainya di negeri ini orang yang terpilih sebagai pemimpin secara moral sangat baik, tetapi sistem/aturan yang mereka jalankan bukan sistem/aturan syariah sebagaimana yang dipraktikkan Nabi saw., tentu beragam persoalan di negeri ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mengapa? Sebab, sebagai kepala negara, Nabi saw. memimpin dan mengatur masyarakat tidak sekadar dengan mengandalkan akhlak atau moralnya, tetapi sekaligus dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepadanya.

Yakinlah bahwa perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik tidak bisa hanya dengan ‘mengubah’ (mengganti) sosok pemimpinnya, tetapi juga mengubah sistem/aturan yang dijalankannya; yakni dari sistem sekular—sebagaimana saat ini—ke sistem Islam, yang diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam negara. Hal ini penting karena satu alasan: menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Alasan lainnya, karena sistem sekular—dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya—saat ini telah terbukti rusak dan gagal menciptakan kesejahteraan lahir-batin dan keadilan bagi semua pihak. Logikanya, buat apa kita mempertahankan sistem yang telah terbukti rusak dan gagal? Padahal jelas Allah SWT telah menyediakan sistem yang baik, yakni sistem syariah:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[

Sistem hukum Jahiliahkah yang kalian inginkan? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin (QS al-Maidah [5]: 50).

Jangan Pasif

Tentu bisa dianggap tidak bertanggung jawab atas nasib negeri ini jika dalam menghadapi Pemilu kita hanya duduk manis seraya melipat tangan di dada, tidak berbuat apa-apa demi perubahan. Akan tetapi, tentu tidak bijak pula jika Pemilu seolah dianggap ‘obat mujarab’ yang pasti menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika yang diinginkan adalah perubahan semu dan sesaat (sekadar pergantian orang-orang yang duduk di struktur pemerintahan dan di DPR), mungkin iya. Namun, jika yang dikehendaki adalah perubahan hakiki dan mendasar (dari sistem sekular ke sistem yang berlandaskan syariah Islam), maka masuk dalam pusaran sistem demokrasi justru sering melahirkan bahaya nyata: pengabaian terhadap sebagian besar hukum-hukum Allah SWT. Pasalnya, demokrasi memang sejak awal menempatkan kedaulatan (kewenangan membuat hukum) berada di tangan manusia (rakyat), bukan di tangan Allah SWT. Akibatnya, hukum-hukum Allah SWT selalu tersingkir, dan hukum-hukum buatan manusialah yang selalu dijadikan pedoman. Inilah yang sudah terbukti dan disaksikan secara jelas di dalam sistem demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini.

Karena itu, ‘Pesta Demokrasi’ alias Pemilu (yang sekadar diorientasikan untuk memilih orang) tidak seharusnya melalaikan umat Islam untuk tetap berjuang di dalam mewujudkan sistem kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dll) yang berdasarkan syariah Islam. Umat Islam tidak boleh pasif! Apakah kita akan berdiam diri, tidak membela hukum-hukum Allah SWT yang sudah begitu lama dicampakkan? Bukankah kaum Muslim wajib hidup dengan tuntunan (syariah Islam) yang haq? Jika memang kita sedang berjuang untuk menegakkan syariah Allah SWT dan mengembalikan kehidupan Islam, apakah langkah perjuangan kita sudah benar mengikuti manhaj Rasulullah saw.? Ataukah sikap pragmatis telah menjadi penyakit yang menjangkiti diri kita dalam perjuangan?

Marilah kita merenungkan dengan baik firman Allah SWT berikut ini agar sikap dan pilihan kita tidak melahirkan madarat yang lebih dahsyat, yakni azab-Nya:

]قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا () الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا[

Katakanlah, "Maukah kalian Kami beritahu ihwal orang-orang yang paling merugi karena perbuatannya? Mereka itulah yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik.” (QS al-Kahfi [18]:103-104).

Semoga Allah SWT melimpahkan hidayah dan taufik atas umat ini, yang bisa menggerakkan mereka untuk aktif dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Semoga Allah SWT pun selalu membimbing umat ini agar senantiasa menapaki manhaj perjuangan Rasulullah saw., sejak memulai dakwahnya di Makkah hingga berhasil menegakkan Daulah Islam di Madinah, sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Amin. []

KOMENTAR:

Presiden SBY: Mengemplang utang luar negeri itu tidak punya harga diri (Koran Tempo, 7/4/2009) Bagaimana dengan tetap menghamba kepada pihak asing dengan terus menambah utang baru?!

05 April 2009

Pemimpin Harapan Rakyat

Posted by cah_hamfara 15.15, under | No comments

Oleh : Disman
Mahasiswa STEI Hamfara

beberapa hari lagi bangsa indonesia akan melaksanakan pemilu legislatif, dan beberapa bulan lagi menyusul pilihan umum presiden.ini adalah suatu fenomena rutin yang kerap terjadi di indonesia.tujuan utama yang diharapkan oleh rakyat adalah adanya suatu perubahan yang akan membawa nasib rakyat menjadi lebih baik.tapi kalau kita lihat, sejak pemilihanumum yang pertama, sampai dengan pemilu yang akan dilaksanakan besok,nyatanya tidak membawa perubahan yang signifikan pana nasib bangsa ini.bahkan pada saat reformasi pun yang katanya menjadi tonggak perubahan, ternyata tidak membawa perubahan sedikitpun pada bangsa ini, namun yang terjadi adalah menjadikan nasib bangsa ini menjadi lebih buruk dari pada sebelumnya..Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi dan sebagainya. Lebih menyedihkan lagi, sumber-sumber kekayaan negeri ini yang semestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru berpindah ke dalam cengkeraman asing. Aroma pengaruh kekuatan asing pun masih terasa sangat kental di negeri ini. Alhasil, upaya memerdekakan negeri ini secara hakiki belum juga berhasil meski sudah lepas dari penjajahan fisik lebih dari 63 tahun.
sudah saatnya bangsa indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang dapat membawa pwrubahan pada nasib bangsa ini. bangsa indonesia
membutuhkan pemimpin yang bisa membawa bangsa ini keluar dari sistem buruk kapitalisme yang sedang membalanggu bangsa ini.
karena sistem yang diterapkan sekarang inilah yang sebenarnya membuat negarai ini berada dalam kubangan lumpur, bahkan bukan hanya negara indonesia saja yang mengalami nasib seperti ini, melainkan semuan negeri-negeri yang menerapkan sistem kufur kapitalisme, walaupun sebagian besar rakyatnya menganut agama islam.
hukum yang berlaku dalam sistem kapitalisme adalah hukum rimba, yang kuat dialah yang akan menguasai yang lemah, dengan kata lain yang punya modal besar lah yang akanmengalami kejayaan, sedangkan kaum melarat menjadi bahan mainan bagi mereka.
dalam sistem ini juga, alur hak dan kewajiban dalam kepemimpinan mengalami penyimpangan, yang seharusnya kesejahteraan menjadi hak bagi rakyat, namun ternyata menjadi milik para pemilik modal yang sebalumnya telah mendanai kampanye calon pemimpin. sehingga dengan segala kebijakan busuknya yang katanya mengatasnamakan kepentingan rakyat,mereka sebenarnya menjadi jongos bagi para kaum kapitalis.

sudah saatnya kaum muslimin mempunyai sosok pemimpin yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat,bukan malah menjadi antek-antek para kaum kapitalis. tentunya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang diibaratkan kalau dalam hadis,adalah sebagai penggembala atau pelayan dan rakyat adalah sebagai gembalanya atau yang dilayaninya.sehingga hak dan kewajiban dalam kepemimpinan pun menjadi jelas, rakyat terpenuhi haknya dankewajiban mentaati pemimpin pun terlaksana.
ternyata persoalanya tidak sampai disitu, yang dibutuhkan rakyat,tidak hanya pemimpin yang baik, tapi sistemnya juga harus baik, karena soerang pemimpin yang baik, akan menjadi baik ketika berada dalam sistem yang baik. dan pemimpin yang baik adalah yang mau merubah sistem yang busuk dengan sistem yang baik,dengan kata lain seorang pemimpin harus bisa mengganti sistem kapitalisme ini dengan sistem islam.

02 April 2009

‘Tragedi Situ Gintung’ Bukti Kelalaian Penguasa

Posted by cah_hamfara 20.40, under | No comments


[Al-Islam 449] Berita sedih sekaligus perih tiba-tiba kembali menyayat hati kita. Untuk ke sekian kali, suasana duka-lara menyelimuti bangsa ini. Setelah rentetan musibah dan bencana beberapa waktu lalu yang mulai mereda, kita kembali dikagetkan oleh sebuah bencana yang menebarkan kengiluan dan kepiluan yang sama: ‘Tragedi Situ Gintung’.

Ledakan besar menandai ambrolnya tanggul sisi timur Situ Gintung Ciputat, Jumat subuh 27 Maret lalu; menggelentorkan 200 juta meter kubik air danau ke tiga kampung dan perumahan warga di bawahnya. Menurut catatan Depkes, sampai Sabtu malam (28/3), ‘tsunami kecil’ itu telah menewaskan sedikitnya 91 orang, 107 lainnya hilang, 183 rumah hancur lebur dan lima unit mobil rusak parah. “Ini bencana,” tandas Wapres Jusuf Kalla, tatkala meninjau lokasi musibah pada hari kejadian.

Ya. Seperti dikemukakan Ridwan Saidi, penulis buku Bencana Bersama SBY yang diluncurkan pada 11 Maret 2009 di Jakarta, dalam periode kekuasaan SBY-JK yang hampir genap 5 tahun telah terjadi paling tidak 400 bencana alam. Yang terbesar adalah musibah tsunami NAD-Sumut pada 26 Desember 2004, dan gempa DIY-Jateng 27 Mei 2006.

Dalam bukunya Ridwan Saidi menuturkan, rentetan bencana alam yang mengakrabi Indonesia merupakan peringatan dari Allah SWT terhadap bangsa ini yang membiarkan semakin terjadinya kerusakan dan kemaksiatan.

Memang, seperti dikemukakan Presiden SBY, secara alamiah Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana. Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami.

Namun, lanjut Walhi, selain karena faktor alamiah, bencana lebih banyak lantaran ulah manusia. Dalam berbagai bencana, faktor alam hanyalah salah satu penyebab dengan proporsi yang kecil. Faktor terbesar justru datang dari ketidakmampuan penguasa dalam mengurus alam serta meremehkan ancaman bencana. Kondisi lingkungan hidup yang semakin rusak menambah percepatan terjadinya bencana.

Dalam situasi seperti itu, tulis Walhi, penguasa tidak melakukan upaya sungguh-sungguh membangun suatu sistem kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Negara gagal membangun sistem pendidikan yang memasukkan perspektif kerentanan bencana dalam kurikulum; gagal melakukan sosialisasi terhadap ancaman bencana; gagal melindungi lingkungan dari laju kerusakan; dan gagal dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap kegiatan yang potensial menimbulkan bencana ekologis, seperti dalam tragedi ‘Lumpur Lapindo’ di Sidoarjo, Jawa Timur.

Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut.

Dalam keadaan seperti itu, sedikit saja terjadi gejala alam seperti gempa atau longsor, ancaman akan berubah menjadi petaka yang merenggut korban jiwa dan harta rakyat.

Tragedi Situ Gintung ini bukti yang ke sekian kalinya. Bendungan yang dibangun Belanda pada 1932 ini, kerusakannya sudah dikeluhkan dan dilaporkan warga sejak 2 tahun lalu kepada Dinas Perairan setempat. Namun, menurut Marwanto, warga Kampung Cirendeu, laporan tak ditanggapi. Bahkan pada November 2008, luberan air Situ pernah terjadi dan segera pula dilaporkan masyarakat, tetapi tetap dianggap sepele saja oleh pemda setempat.

Di sisi lain, lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton. Hal ini diakui Departemen PU pada 2007, bahwa telah terjadi alih fungsi kawasan Situ se-Jadebotabek; dari total luas 193 situ di Jabodetabek sekitar 2.337,10 hektar, hanya tinggal 1.462,78 hektar saja. Hanya 19 situ yang kondisinya masih baik.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan, juga mengkritik lemahnya koordinasi antar-Pemda di wilayah Jabodetabek untuk memulihkan kawasan hulu dan wilayah tangkapan air, khususnya untuk kawasan DAS Ciliwung dan Cisadane.

Bahkan dalam tragedi Situ Gintung, terkesan penguasa Banten dan DKI saling lempar tanggung jawab. Penelantaran wilayah perbatasan antar-propinsi seperti kawasan Ciputat ini memang khas Indonesia.

Akhirnya, tidak aneh jika Andre Victhek, novelis dan senior fellow di Oakland Institute Amerika Serikat, dalam tulisannya di The International Herald Tribune dan The Financial Times edisi 12 Februari 2007, menyatakan bahwa bencana beruntun yang menewaskan ribuan orang Indonesia lebih merupakan ‘pembunuhan massal’ ketimbang tragedi bencana alam.
Pemimpin Amanah

Umar bin al-Khaththab ra., saat menjadi khalifah, begitu terkenal dengan kata-katanya yang menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang penguasa agung (al-imâm al-a’zham): “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di Akhirat nanti.”

Demikianlah keagungan Khalifah Umar ra. Jangankan manusia, nasib seekor binatang sekalipun tak luput dari bahan pemikiran, perhatian dan tanggung jawabnya. Khalifah Umar ra. membuktikan ucapannya. Sepanjang sejarah kepemimpinannya, telah banyak riwayat yang menunjukkan betapa tingginya kepedulian beliau terhadap rakyatnya. Beliau, misalnya, setiap malam selalu berkeliling untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Beliau tak segan-segan memanggul sendiri gandum di atas pundaknya untuk diberikan kepada seorang janda dan keluarganya saat diketahui bahwa mereka sedang kelaparan. Padahal saat itu beliau adalah seorang penguasa besar dengan kekuasaan yang membentang sepanjang jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika.

Beliau, dengan penuh kasih-sayang dan tanggung jawabnya, juga pernah membebaskan pungutan jizyah dari seorang Yahudi tua yang miskin dan telah sebatang kara, sekaligus menjamin kehidupannya.

Jika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. begitu gelisah memikirkan seekor keledai karena khawatir terperosok akibat jalanan rusak, bagaimana dengan para penguasa sekarang? Meski ribuan ruas jalan rusak, bahkan sebagiannya rusak parah, dan telah menimbulkan banyak korban jiwa, para penguasa sekarang seolah tidak peduli. Banyak jalanan rusak tidak segera diperbaiki, seperti sengaja menunggu korban lebih banyak lagi.

Meski banjir sering datang menghampiri, para penguasa juga seperti tak ambil pusing. Hutan-hutan tak segera ditanami, bahkan yang ada terus digunduli; seolah menunggu korban lebih banyak lagi akibat wabah banjir yang tak terkendali.

Demikian pula, meski semburan Lumpur Lapindo telah mengubur sekian desa dan telah berlangsung lebih dari dua tahun, Pemerintah seakan-akan sudah tidak lagi memiliki nurani; membiarkan masyarakat yang menjadi korban menderita lebih menyakitkan lagi.

Ironisnya, janji-jani manis untuk rakyat tetap mereka lontarkan di saat-saat kampanye Pemilu tanpa rasa malu; seolah-olah mereka menganggap rakyat buta dan tuli atas kelalaian, ketidakamanahan, bahkan kelaliman mereka terhadap rakyat selama mereka berkuasa. Mereka tetap percaya diri untuk maju dalam Pemilu demi sebuah mimpi: menjadi penguasa. Mereka seolah tidak peduli dengan sabda Baginda Nabi saw.:

«إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ»

Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan pada Hari Kiamat; nikmat di awal dan pahit di ujung (HR al-Bukhari).

Mereka jauh berbeda dengan Abu Bakar ash-Shiddiq atau Umar bin al-Kththab ra. Diriwayatkan, sebelum diminta menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakar ra. mengusulkan agar Umarlah yang menjadi khalifah. Alasan beliau, karena Umar ra. adalah seorang yang kuat. Namun, Umar ra. menolaknya, dengan mengatakan, ”Kekuatanku akan berfungsi dengan keutamaan yang ada padamu, wahai Abu Bakar.” Lalu Umar membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, yang kemudian diikuti oleh para sahabat lain dari Muhajirin dan Anshar.

Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti sesuatu yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin.

Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin karena mereka mengetahui konsekuensi dan risiko menjadi pemimpin. Mereka begitu memahami banyak hadis Nabi saw. tentang beratnya pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan Allah pada Hari Akhirat nanti. Wajarlah jika Umar bin Abdul Aziz sampai mengurung di kamarnya begitu lama seraya menangis sesaat setelah umat membaiatnya menjadi khalifah, meski ia telah berusaha keras menolaknya. Yang selalu menghantui pikirannya tidak lain adalah, betapa beratnya nanti ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT di Hari Akhir nanti.

Apalagi Rasulullah saw. jauh-jauh hari telah memperingatkan para penguasa yang lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan tidak bekerja untuk kepentingan rakyatnya, dengan sabda beliau:

«مَنْ وَلاَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ»

Siapa saja yang diberi oleh Allah kekuasaan untuk mengurus urusan kaum Muslim, kemudian tidak melayani mereka dan memenuhi kebutuhan mereka, Allah pasti tidak akan melayani dan memenuhi kebutuhannya (HR Dawud).

Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz dalam setiap shalat malamnya sering membaca firman Allah SWT berikut:

*] احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ (٢٢)مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ (٢٣)وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ (٢٤)[

(Kepada para malaikat diperintahkan): Kumpulkanlah orang-orang yang lalim beserta teman sejawat mereka dan sesembahan yang selalu mereka sembah selain Allah. Tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS ash-Shaffat [37]: 22-24)

Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat, di hadapan Hakim Yang Mahaagung, Allah SWT. Lalu bagaimana dengan para pemimpin yang tidak amanah saat ini?! Wallâhu a’lam []

KOMENTAR AL-ISLAM:
Sri Mulyani: Dunia Siapkan Sistem Keuangan Baru (Mediaindonesia.com, 31/3/2009).
Selama bukan sistem keuangan Islam, sistem baru itu pasti bermasalah.

Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia tentang Pemilu Legislatif 2009

Posted by cah_hamfara 20.16, under | No comments

Nomor: 155/PU/E/03/09
Jakarta, 26 Maret 2009 M/29 R. Awwal 1430 H

Indonesia kembali akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Selain untuk memilih anggota legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat dan Daerah serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), juga memilih presiden dan wakil presiden. Pemilihan anggota legislatif akan diselenggarakan pada 9 April 2009. Sedang pemilihan presiden (pilpres) putaran pertama akan diselenggarakan pada 5 Juli 2009, dan pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua pada pertengahan September 2009.

Dalam perspektif Islam, pemilu legislatif pada dasarnya bisa disamakan dengan hukum wakalah, di mana hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama rukun-rukunnya sesuai dengan ketentuan Islam. Yakni adanya dua pihak yang berakad (pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl)); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl). Selanjutnya yang akan menentukan apakah wakalah ini Islami atau tidak adalah pada amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh wakil. Bila kegiatannya bertentangan dengan akidah dan syariah Islam, maka wakalah ini tidak Islami.

Kegiatan utama wakil rakyat dalam parlemen adalah membuat atau menetapkan undang-undang, selain menetapkan anggaran dan melakukan pengawasan atau koreksi terhadap pemerintah. Berkaitan dengan kegiatan legislasi, harus diingat bahwa setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT, wajib taat kepada syariat Islam yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk menetapkan hukum kecuali dengan menggunakan syariat Allah SWT.

Tidak boleh seorang muslim mengharamkan yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim radhiya-Llahu ’anhu berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika beliau sedang membaca surat Bara’ah:

﴿اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴾


”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 60)

Seraya bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”

Karena itu, menetapkan hukum yang bukan bersumber dari wahyu (al-Quran dan As-Sunnah) adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Seorang muslim wajib terikat kepada syariat Allah seraya dan menolak undang-undang atau peraturan buatan manusia yang bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT. Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap penetapan peraturan perundang-undangan yang bersumber pada selain al-Kitab dan as-Sunnah disebut sebagai aktivitas menyekutukan Allah SWT. Dengan demikian, wakalah dalam kegiatan legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular atau yang bertentangan dengan syariat Islam tidak diperbolehkan.

Adapun wakalah dalam konteks pengawasan atau koreksi dan kontrol terhadap pemerintah dibolehkan selama tujuannya adalah untuk amar makruf dan nahi mungkar (menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran).

Karena itu, berkenaan dengan Pemilu Legislatif 2009, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia:

1. Bahwa memilih dalam pemilu adalah hak, dan setiap penggunaan hak pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak. Karena itu, pastikan bahwa hak itu digunakan dengan sebaik-baiknya dengan cara memilih calon anggota legislatif yang baik, yakni yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekuler, yang benar-benar secara nyata terbukti berjuang untuk tegaknya Islam. Asas Islam dari partai itu harus tercermin dalam fikrah yang diadopnya baik menyangkut politik dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial dan pendidikan. Dan semua fikrah itu tergambar dengan jelas hingga siapa saja dengan mudah bisa mempelajarinya. Juga tercermin dalam keterikatan pada syariat Islam dalam kehidupan kepartaian sehari-hari, baik dalam hubungannya dengan anggota maupun dalam hubungannya dengan yang lain dalam kehidupan berparlemen, termasuk dalam soal materi kampanye, strategi dan tatacara yang dilakukan.

b. Tujuan dari pencalonan itu adalah untuk melakukan muhasabah, bukan legislasi; menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam. Mewujudkan kehidupan Islam di mana di dalamnya diterapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah.

c. Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekuler dan mengoreksi penguasa. Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.

d. Bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuan ini, tegas dan terbuka, tanpa rasa takut dan malu. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekuler.

2. Bahwa pemilu harus tidak boleh digunakan untuk melanggengkan sistem sekular karena hal itu bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Selanjutnya, harus terus berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam melalui perjuangan yang dilakukan sesuai dengan thariqah dakwah Rasulullah saw melalui pergulatan pemikiran (as-shirâul fikriy) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Perjuangan itu diwujudkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang secara nyata dan konsisten berjuang demi tegaknya syariah dan khilafah; serta sebaliknya menjauhi individu, kelompok, jamaah dan partai politik yang justru berjuang untuk mengokohkan sistem sekuler.

3. Maka harus diingatkan pula, bahwa perbaikan menyeluruh tidak akan pernah terjadi kecuali melalui perubahan sistem dari tatanan yang sekularistik menuju tatanan yang Islami. Karena itu, meski nanti bakal terpilih tokoh muslim yang Islami sebagai wakil rakyat, umat tidak boleh berhenti berjuang, karena harus diperjuangkan pula perubahan sistem dari sistem yang sekularistik sekarang ini menuju sistem Islam.

4. Tidak boleh terpengaruh oleh propaganda yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekular dan mewujudkan sistem Islam mustahil dilakukan. Tidak boleh ada rasa putus asa dalam perjuangan. Dengan pertolongan Allah, Insya Allah perubahan ke arah Islam bisa dilakukan asal perjuangan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Yakinlah, Allah SWT pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya, khususnya dalam usaha mewujudkan kembali kehidupan Islam (isti’nâfu al-hayah al- Islâmiyah) di mana di dalamnya diterapkan syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan kepemimpinan seorang khalifah yang akan menyatukan umat dan negeri-negeri Islam untuk kembali menjadi umat terbaik serta memenangkan Islam di atas semua agama dan ideologi yang ada. Kesatuan umat itulah satu-satunya yang akan melahirkan kekuatan, dan dengan kekuatan itu kerahmatan (Islam) akan terwujud di muka bumi. Dengan kekuatan itu pula kemuliaan Islam dan keutuhan wilayah negeri-negeri muslim bisa dijaga dari penindasan dan penjajahan negeri-negeri kafir sebagaimana yang terjadi di Irak, Afghanistan, Palestina dan di tempat lain.

5. Kepada aktivis partai politik diingatkan, bahwa sebagai muslim harus benar-benar berjuang untuk tegaknya Islam, yakni terwujudnya kehidupan Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah Islam. Bahwa partai politik harus menjadi wasilah atau sarana untuk mencapai tujuan itu. Artinya, partai politik harus benar-benar digerakkan ke arah sana, mulai mulai dari penetapan asas, konsep-konsep atau pemikiran yang diadopsi, perilaku kesehariannya, materi kampanye dan kesungguhannya dalam mewujudkan semuanya tadi di dalam parlemen. Jika semuanya itu dilakukan, itu menunjukkan bahwa partai ini memang benar-benar secara terbuka berjuang bagi tegaknya kehidupan Islam. Perlu diingatkan pula, bahwa Allah SWT Maha Tahu apa yang diperjuangkan; apakah berjuang sungguh-sungguh demi Islam atau sekadar demi jabatan dan kekayaan serta sekadar menjadikan Islam sebagai alat untuk mengelabuhi umat demi meraih tujuan politik. Semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

6. Akhirnya diingatkan bahwa semua berpulang kepada masyarakat apakah akan membiarkan negeri ini terus diatur dengan sistem sekular dan mengabaikan syariat Islam, sehingga membuat negeri ini terus terpuruk; ataukah sebaliknya bersegera menegakkan syariat Islam sehingga kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan benar-benar akan terwujud. Karena itu, umat Islam di Indonesia sebagai pemegang kekuasaan hendaknya memperhatikan momentum pemilu ini. Bahwa Pemilu ini tidak boleh menjadi alat untuk melanggengkan sistem sekular. Sebaliknya, umat Islam harus berusaha untuk menegakkan sistem Islam dan menghentikan sistem sekular.



Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia


Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

Gedung Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia
Crown Palace Jl. Prof. Soepomo No 231, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 83787370 Fax. (62-21) 83787372
Website : http://www.hizbut-tahrir.or.id

01 April 2009

ISLAM ADALAH MAFAHIM KEHIDUPAN BUKAN SEKEDAR MAKLUMAT

Posted by cah_hamfara 08.34, under | 1 comment


Oleh: Muh. Dhuha Ghufron, SEI
Pengasuh Pesantren Mahasiswa STEI Hamfara


Mafahim Islam adalah pemikiran-pemikian yang bisa ditangkap langsung oleh akal manusia secara langsung, selama masih dalam batas jangkauan akalnya. Namun jika pemikiran-pemikiran tersebut diluar batas akal maka hal itu akan ditunjukkan secara pasti oleh sesuatu yang dapat diindera. Tidak ada satu pemikiran pun di dalam Islam yang tidak ada faktanya sehingga tidak menjadi mafhum. Artinya mafahim Islam itu memiliki fakta dalam benak dan dapat dijangkau oleh akal.

Berdasarkan hal ini, maka pemikiran-pemikiran Islam bersifat nyata, faktual dan ada didalam kehidupan. Sebab, semua pemikiran ini memiliki fakta didalam benak, didasarkan pada proses penginderaan dan berdasarkan pada akal. Karena itu, sebenarnya akal manusia menjadi asas bangunan Islam, yakni aqidah dan syari'at Islam. Aqidah dan hukum-hukum Islam merupakan pemikiran yang memiliki fakta dan dapat dijangkau oleh akal, baik itu berupa hal-hal ghoib, ide-ide, hukum-hukum tertentu dan lain-lain.

Aqidah Islamiyah adalah keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan qadla-qadar. Pembenaran terhadap semua rukun keimanan ini dibangun dari kenyataan yang ada dan seluruhnya memiliki fakta di dalam benak.

Iman kepada Allah, Al-Qur'an dan kenabian Muhammad saw dibangun diatas penemuan bahwa wujud (eksistensi) Allah itu azalli, tidak ada awal dan akhir bagi-Nya. Dan akal telah menemukan secara inderawi bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah berdasarkan kemukjizatannya. Akal pun telah menemukan secara inderawi bahwa Muhammad saw adalah nabi Allah dan rasul-Nya, berdasarkan bukti yang nyata bahwa beliau membawa Al-Qur'an. Maka, ketiga hal ini, yaitu wujud (eksistensi) Allah, Al-Qur'an sebagai Kalamullah dan Muhammad sebagai nabi dan Rasulululloh dapat ditangkap oleh akal dengan perantaraan indera. Dengan demikian, tiga hal ini memiliki fakta yang dapat diindera dalam benak dan merupakan fakta yang nyata.

Adapun iman kepada Malaikat, kitab-kitab sebelum Al-Qur'an (seperti Taurot dan Zabur), nabi dan rasul sebelum Rasululloh saw (seperti Musa, Nuh, Isa Harun, Adam) dibangun berdasarkan kabar dari Al-Qur'an dan hadits Mutawatir. Kaum muslimin diperintahkan membenarkan adanya semua itu. Dan semua itu memiliki fakta dalam benak, karena berdasarkan sesuatu yang terindera, yaitu al-Qur'an dan hadits mutawatir. Berarti seluruhnya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide-ide (Islam) yang dapat dijangkau dalam benak.

Sedangkan iman terhadap qadla' dan qadar, dibangun berdasarkan pengamatan terhadap perbuatan manusia; bahwa perbuatan manusia itu adakalanya dilakukan oleh manusia dan adakalanya menimpa manusia (qadla'); dan berdasarkan pengamatan bahwa kasiyat (potensi) yang dimiliki benda bukanlah berasal dari benda itu sendiri (qadar). Buktinya, pembakaran kayu dengan api perlu derajat panas tertentu yang berbeda dengan derajat panas untuk pembakaran besi. Seandainya kasiat panas itu berasal dari api itu sendiri, maka kebakaran itu dapat terjadi menurut kehendaknya sendiri tanpa tergantung pada derajat panas tertentu atau aturan tertentu. Dengan demikian jelaslah bahwa kasiyat (karakteristik atau sifat) suatu benda berasal dari Allah SWT bukan ciptaan yang lain. oleh karena itu qadla qadar dapat ditangkap oleh indera dan ada faktanya dalam benak sehingga menjadi mafahim, sebab merupakan fakta dari ide yang dijangkau oleh akal.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka aqidah Islam merupakan mafahim yang pasti adanya dan pasti penunjukkannya. aqidah Islam memiliki fakta dalam benak kaum muslimin yang dapat menginderanya atau mengindera sesuatu yang dapat menunjukkannya. dengan demikian aqidah Islam akan dapat memberi pengaruh besar terhadap manusia.

Sedangkan hukum-hukum syara', kedudukannya adalah sebagai pemecah terhadap kenyataan atau problematika hidup manusia. Didalam menyelesaikan seluruh problema hidup ini, diharuskan mengkaji dan memahami seluruh masalah yang dihadapi. Lalu mempelajari nash-nash syara' yang berkaitan dengannya sehingga seorang mujtahid bisa menemukan hukum masalah tersebut. Jika penerapan itu tepat, maka itulah hukum syara'. Jika tidak tepat, maka dicarilah nash-nash lain hingga ditemukan yang tepat dengan kenyataannya. Dengan demikian hukum-hukum syara' merupakan pemikiran yang memiliki fakta dalam benak (mafhum) sebab dapat diindera untuk memecahkan suatu masalah yang nyata. Maka, berdasarkan hal ini hukum-hukum syara' adalah merupakan mafahim.

Dari penjelasan ini, sesungguhnya aqidah Islam dan hukum-hukum syara' bukanlah pengetahuan yang sekedar untuk dihapal dan bukan pula sekedar pemuas akal. Tetapi keduanya merupakan mafahim yang mendorong manusia untuk berbuat, menjadikan perbuatannya selalu terkait, terikat dan teratur karenanya. Atas dasar inilah, maka seluruh ajaran Islam merupakan mafahim yang mengatur kehidupan manusia, bukan sekedar informasi mati atau pengetahuan kosong semata.

 
Istrahatnya s'org aktivis adalah suatu kelalain, Laa rohata ba'dal yauum. Teruslah berjuang hingga Allah memenangkan Dien ini atau kita Syahid Karenanya...