Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

31 Maret 2009

Perubahan: Demokrasi Vs Islam

Posted by cah_hamfara 04.42, under | No comments


Oleh: Muh. Yusrul Falah
Mahasiswa STMIK El-Rahma Yogyakarta


Pendahuluan
Demam 5 tahunan saat ini sedang melanda masyarakat di Indonesia. Sesuatu yang mereka namakan “pesta demokrasi” ada juga sebagian yang menamakannya “pesta rakyat” dengan bahasa lebih sederhana, ini dinamakan pemilu. Semua elemen masyarakat membicarakan “pesta” ini, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dari warung kopi hingga kantor-kantor. Pembicaraan itu tak lepas dari isu-isu yang berkembang selama persiapan “pesta” (baca: kampanye) ini, misalnya partai mana yang akan dipilih, politisi mana yang tergolong busuk dan yang mana yang dirasa bisa mensejahterakan rakyat, iklan partai mana yang paling oke, dan selainnya. Walaupun setiap orang boleh berbeda dalam pandangan partai mana yang dianggap bisa mengemban amanah, tapi dibalik itu semua elemen masyarakat tadi menginginkan satu hal yang dianggap dapat dicapai lewat pesta yang tampaknya berbeda dengan pesta-pesta sebelumnya: perubahan.
Perubahan, ia adalah satu kata yang banyak menimbulkan perbedaan serta perselisihan dalam mendefinisikan tentang makna dan khususnya bagaimana caranya. Tidak sedikit yang memberi standar atau tolak ukur perubahan itu sendiri, setiap partai menjanjikan perubahan itu menurut versinya sendiri-sendiri. Ada yang berpendapat perubahan yang urgen adalah perubahan hukum menjadi lebih tegas, ada lagi yang berpendapat harus dimulai dari perekonomian, ada juga yang beranggapan akhlak dan moral-lah yang harus dirubah terlebih dahulu, yang lebih radikal lagi malah meyakini bahwa perubahan haruslah dimulai dari dasar negara ini, yaitu sistem pemerintahan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Terlepas dari benar dan salahnya analisis mereka tentang apa yang perlu dirubah terlebih dahulu, mereka juga menentukan metode atau jalan yang akan ditempuh agar perubahan yang mereka inginkan itu agar tercapai.

Perubahan Dalam Kontek Demokrasi
Seiring berjalan dengan pesta demokrasi (pemilu), maka bergema pula gaung perubahan ditengh-tengah masyarakat. Tiap partai dan caleg berlomba-lomba menarwarkan perubahan kepada masyarakat untuk membenahi konsidi bangsa yang bobrok ini. Janji-jani itu bias kita lihat dari pamphlet, spanduk maupun orasi dari tiap calon. Namun yang menjadi pertanyaan benarkah demokrasi dengan pemilunya bias menghadirkan perubahan bagi bangsa ini.

Jika yang dimaksudkan adalah perubahan sekadar perubahan, jelas demokrasi menjanjikan itu. Bahkan dalam demokrasi bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena sistem dan aturan penentuannya diserahkan pada selera akal manusia, sementara selera akal selalu berubah dari waktu ke waktu. Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke depan bisa dinilai sebagai madarat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kepentingan (ego). Artinya, perubahan yang ditawarkan oleh demokrasi itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang terjadi. Di sinilah masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat diasumsikan terwakili oleh satu orang wakil. Tentu saja ini adalah satu hal yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Pada faktanya suara wakil itu lebih mencerminkan suara dan kepentingannya sendiri. Bahkan fakta menunjukkan lebih sering justru kepentingan pihak lainlah yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat itu sendiri dan kelompoknya. Hal itu karena demokrasi itu dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinvestasi melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan menentukan. Ironisnya semua itu selalu diatasnamakan suara dan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan yang terjadi. Jadi demokrasi memang menjadikan perubahan tetapi bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan aktor-aktor demokrasi dan para pemodal mereka.

Lebih dari itu, seandainya dengan demokrasi itu tercipta kondisi yang baik yang sepenuhnya memihak kepentingan rakyat –meski ini selalu saja masih menggantung jadi mimpi- demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung. Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah yang belum tentu menjadi lebih baik. Hal itu karena wakil rakyat dan pemimpin yang baik yang terpilih melalui proses demokrasi itu harus dipilih ulang. Pemimpin yang baik itu dibatasi jangka waktunya dan harus diganti ketika sudah habis. Bahkan setelah jangka waktu tertentu ia tidak boleh dipilih kembali. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik-Kapitalis akan bisa menjadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini. Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki.

Hal itu wajar karena demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan. Lebih dari itu, demokrasi sebagai sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan ada hak membuat hukum. Itu artinya demokrasi menjadikan rakyat –riilnya adalah wakil-wakil rakyat- sebagai pembuat hukum.

Perubahan dalam Kontek Islam

Islam adalah agama yang unik, satu-satunya agama yang mengatur manusia baik ibadah (ruhiyah) maupun dalam hal kehidupan/politik (siyasah). Karena itu sebagai kosekuensi dari iman seseorang, maka iman itu mengharuskan semua perbuatan manusia terikat pada hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan. Seorang mu’min akan senantiasa mendasarkan segala aktivitasnya pada hukum-hukum yang telah diturunkan kepadanya dan tidak mengadakan hal-hal baru. Termasuk dalam aktivitas perubahan ini, karena Nabi saw. telah bersabda

“Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak”

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita harusnya juga selalu mencontoh metode Rasulullah saw. dalam merubah masyarakat jahiliyyah pada waktu itu menjadi masyarakat Islam yang diterangi cahaya kemilau dengan menegakan Daulah Islamiyyah yang telah menggoreskan tinta emas pada peradaban manusia.
Keharusan dalam mengikuti Rasulullah saw. selalu ditegaskan dalam firman Allah SWT:

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suatu contoh yang baik bagimu…” (QS al-Ahzab: 21)

“Apa saja yang disampaikan Rasulullah kepada kalian, terimalah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]: 7)

”Katakanlah, ”Inilah jalan (dakwah) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada (agama) Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata.” (QS Yusuf [12]: 108)

Siapapun yang ingin melakukn perubahan haruslah memahami dengan benar fakta-fakta tentang apa yang ingin dirubahnya, mengapa perlu dirubah dan ia pun harus mempunyai gambaran jelas yang tidak kabur dan mendetail tentang perubahan seperti apa yang ia inginkan. Ia pun harus memahami secara jelas apa kelebihan sistem yang dia inginkan dibanding sistem saat ini. Karena objek perubahan kita adalah masyarakat, maka kita harus memahami seperti apa realita masyarakat. Belumlah tepat ketika seseorang mendefinisikan masyarakat hanyalah kumpulan individu. Seseorang yang mengamati masyarakat secara mendalam akan menemukan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang berinteraksi untuk mencapai kemashlahatan dan mempunyai pemikiran, perasaan dan sistem yang diterapkan. Jadi, untuk merubah masyarakat secara mendasar dan menyeluruhm kita pun harus berusaha menyerang pemahaman (mafahim), standar (maqayis), dan keyakinan (qanaah) yang diadopsi, yang membentuk pemikiran, perasaan, dan sistem yang dipakai di dalam masyarakat dengan serangan pemikiran untuk kemudian menggantinya dengan pemahaman, standar, dan keyakinan yang kita inginkan. Dan tentu saja tidak dengan jalan kekerasan. Dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sehingga dengan berlandaskan pada hal itu, jika kita lihat pada sirah Nabi saw. dan mengamatinya, maka kita akan mendapatkan bahwa metode yang dilakukan oleh Rasulullah saw. untuk mewujudkan perubahan tersebut adalah dengan 3 tahapan:

1. Tahapan Pembinaan (Marhalah Tatsqif)
Pada tahap ini, Rasulullah saw. melakukan kulturisasi dan organisasi Islam kepada orang-orang yang waktu itu masih belum bisa dibilang banyak. Pada saat itu pula, Rasulullah saw. terus membina mereka dengan menanamkan pemikiran-pemikiran Islam kepada berupa akidah Islam dan syari’at Islam kepada mereka sehingga pada saat itu para shahabat yang baru berjumlah lebih dari 40 orang menjadi matang dalam penguasaan pengetahuan Islamnya (tsaqafah Islamiyyah). Pola pikir dan pola sikap mereka pun menjadi telah Islami. Rasulullah membina mereka dalam jangka waktu kurang lebih 3 tahun dengan da’wah yang masih sembunyi-sembunyi, di dalam kelompok inilah kemudian akan lahir individu-individu yang menstandarkan seluruh aktivitasnya pada syari’at Islam yang secara jama’ah kuat ikatannya dan siap dipergunakan untuk memperjuangkan Islam.
2. Tahapan Interaksi dengan Ummat (Marhalah Tafa’ul ma’al Ummah)
Tahap ini dimulai ketika turun ayat dari Allah SWT. Yang berbunyi:

”Oleh karena itu, sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala hal yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS al-Hijr [15]: 94)

Pada saat ayat ini turun, saat itulah kaum muslimin yang masih tergabung dalam kelompok kecil itu mulai masuk dan berinteraksi dengan masyarakat jahilliyah pada waktu itu. Saat itulah Rasulullah saw. melakukan kegiatan-kegiatan yang dipandang perlu dilakukan agar pemikiran-pemikiran dan ide-ide Islam menjadi opini umum (ra’y al-’am) yang lahir dari kesadaran umum (wa’y al-’am). Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Rasulullah pada waktu itu untuk mewujudkan opini Islam di tengah-tengah masyarakat adalah dengan (1) melakukan pembinaan khusus (at-tatsqif al-murakkazah) kepada para shahabat dan orang yang baru masuk Islam, (2) melakukan pembinaan umum (at-tatsqif al-jama’iy) yaitu dengan menghadiri majelis-majelis dan musim-musim haji untuk menyeru manusia dengan Islam, membaca al-Qur’an di sisi Ka’bah, (3) melakukan serangan pemikiran terhadap ide-ide kufur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan juga menyerang interaksi-interaksi yang batil antara penguasa pada waktu itu dan masyarakat dengan pergulatan pemikiran (as-shira’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) sehingga masyarakat menjadi tidak percaya pada hukum jahilliyah dan penguasanya pada waktu itu. Sebagai ganntinya Rasulullah dan para shahabat memberikan solusi terang benderang, yaitu solusi Islam. Ketika Islam telah menjadi opini umum seperti di kota Madinah al-Munawarrah, maka dengan sendirinya masyarakat akan menstandarkan seluruh aktivitasnya pada Islam dan otomatis merindukan ditegakkannya Islam.
3. Tahapan Penerimaan Kekuasaan (Marhalah Istilamil Hukmi)
Tahapan ini adalah tahapan pengambilalihan/penerimaan kekuasaan serta penerapan Islam secara utuh serta menyeluruh. Hal ini terjadi ketika dalam waktu satu tahum Mush’ab bin Umair berhasil menyiapkan Madinah menjadi tempat bagi Rasulullah untuk menegakkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila tahap kaderisasi dan tahap interaksi dengan ummat telah dilalui dan berhasil diwujudkan. Hal ini juga memerlukan dukungan dari pemilik kekuasaan dan kekuatan (ahl al-quwwah) di daerah tersebut, untuk itu, pada proses da’wahnya rasulullah selalu mendatangi kabilah-kabilah pemegang kekuasaan di kaum Arab pada waktu itu, Rasulullah juga pernah meminta pertolongan kepada penduduk Madinah pada saat Bai’at Aqabah kedua. Inilah yang disebut dengan meminta pertolongan kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan (thalab an-nushrah). Ini juga terlihat pada aktivitas Mush’ab bin Umair yang menda’wahi pemuka dari Bani abd al-Asyhal Usaid bin Khudair dan Sa’ad bin Mu’adz yang erupakan pemimpin yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan serta kekuatan di kota Madinah. Tujuan mencari perindungan pada kaum pemilik kekuasaan ini ada dua macam, yaitu: (1) untuk mendapatkan perlindungan (himayah) sehingga tetap dapat melakukan aktivitas da’wah dalam keadaan aman dan terlindung, (2) untuk mendapatkan dukungan dari para pemilik kekuasaan dan kekuatan untuk menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan dengan bentuk pemerintahannya yang khas yaitu Daulah Islamiyyah.

Dalam melaksanakan perubahan itu, Rasulullah juga mepunyai karakter yang khas dalam perjuangannya, yaitu tanpa kekerasan (laa maddiyyah), pemikiran (fikriyyah) dan politis (siyasiyyah).

Hal ini dapat dipahami, dari awal da’wah Rasulullah saw. sampai terjadinya perubahan yaitu berdirinya Daulah Islamiyyah di Madinah. Rasululah saw tidak pernah melakukan tindakan kekerasan kepada kaum-kaum kafir Quiraisy yang nyata-nyata pada waktu itu memerangi dan menyiksa kaum muslimin. Bukan berarti pada saat itu Rasulullah tidak mempunyai kekuatan, tetapi memang karena ia belum diperintahkan oleh Allah SWT. Untuk melakukan hal itu. Bahkan ketika Bilal bin Rabbah disiksa dan ketika shahabat meminta kepada Rasulullah saw. untuk memerangi orang-orang Quraisy, beliau menjawab: ”Kami belum diperintahkan untuk itu.” Padahal pada saat itu Rasulullah saw. telah mendapatkan dukungan yang memadai, semangat dan keberanian yang tinggi dari para pengikutnya. Namun, Rasulullah tetap menolaknya dengan tegas. Ini menunjukkan bahwa dalam rangka menegakkan (syaria’t) Islam tidak dibenarkan aktivitas kekerasan atau mengangkat senjata.

Bangkitnya Islam juga didasari pada landasan pemikiran ”Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah”, inilah yang dida’wahkan Rasulullah saw. dimana dari pemikiran dasar inilah akan muncul akidah yang berlandaskan pemikiran yang shahih. Pemikiran ini pula yang akan mendasari taatnya seorang muslim pada syari’at Islam.

Kekuasaan adalah salah satu akses politik, sehingga untuk mengambil kekuasaan itu juga diperlukan aktivitas politik. Sehingga aktivitas Rasulullah pada waktu itu yang menyerang ide-ide jahilliyah dan pemikiran-pemikiran batil yang berkembang didalam masyarakat, mengungkap konspirasi kaum kafir, menelanjangi kebusukan penguasa pada saat itu juga merupakan aktivitas politis, begitu pula dengan proses meminta pertolongan (at-thalab an-nushrah) kepada yang dilakukan Rasulullah, yaitu mendatangi penguasa (ahl al-quwwah), ini pun merupakan tindakan politis yang dilakukan oleh Rasulullah

Demikianlah penjelasan singkat tetang kontek perubahan ditinjau dari 2 sisi, demokrasi dan islam. Dari penjelasan dapat kita ambil kesimpulan bahwa hanya islam satu-satunya metode perubahan yang bisa membawa kita menuju perubahan hakiki. Waalahu’alam bishowab



0 komentar:

Posting Komentar

 
Istrahatnya s'org aktivis adalah suatu kelalain, Laa rohata ba'dal yauum. Teruslah berjuang hingga Allah memenangkan Dien ini atau kita Syahid Karenanya...