Pengantar
Konferensi Ekonomi Islam Internasional yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir di Khartoum, Sudan, ikut andil dalam penguatan opini bahwa sistem ekonomi Kapitalisme memang telah rusak dan merusak diri. Kerusakan dan kehancuran dunia adalah hasil nyatanya. Bagaimana detilnya?
Berikut ini kami menampilkan wawancara reporter al-Wa’ie (Yoyok Tindyo dan Bey Laspriana) dengan Dr. Revrison Baswir (Dosen Universitas Gajah Mada), salah seorang pembicara dalam Konferensi tersebut.
Kemarin Pak Sony menjadi salah satu pembicara dalam Konferensi Internasional ekonomi Islam di Sudan. Bagaimana kesannya?
Sempat shock, melihat kondisi yg amburadul. Kok bisa infrastruktur, lingkungannya, sampah. Katanya Muslim. Tapi joroknya….Mengapa? Setelah di rumah, lihat di internet baru terjawab, Oh…wajar karena selama ini mereka perang saudara sehingga secara politik belum ‘jejek’ (mantap, red.). Secara individual hubungan antar mereka lebih baik daripada orang Indonesia, tetapi sangat individu. Itu di Khartoum.
Sebenarnya krisis itu masih jalan nggak? Sebab, media saat ini lebih banyak memberitakan serangan Israel ke Palestina.
Jelas masih dan masih berlanjut sampai 2010. Itu pun prediksi paling optimis. Nggak ada cerita karena kasus serangan Israel ke Gaza, meski sempat mengalihkan perhatian, krisis itu lalu berhenti. Bahkan bisa jadi akibat serangan tersebut, krisis jadi semakin parah. Kenapa? Di negara-negara tertentu, sejak serangan Israel, harga minyak sedikit terdongkrak. Bagi negara importir, itu berarti bertambah berat dibandingkan dengan harga sebelumnya. Dari sini, memang nggak ada pengaruhnya.
Karena sampai hari ini tidak ada yang bisa menjawab krisis itu. Jawabannya yang merata di berbagai dunia hanya stimulus… stimulus…dan stimulus. Tidak ada jawaban yang sifatnya mendasar. Itu hanya mengatasi demamnya, yang belum tentu bisa mengatasi penyakitnya.
Saat ini masih trasisi dari George W. Bush ke Obama. Apakah kalau Obama naik, krisis akan bisa teratasi?
Saya kira juga nggak ada hubungannya secara langsung. Justru ini menjadi kesempatan yang bagus bagi masyarakat dunia untuk menguji siapa Obama. Kenapa? Karena menjelang tanggal 20 Januari 2009 saat dia dilantik, terjadi krisis di Gaza. Nah, dari sini akan ketahuan siapa Obama sebenarnya. Pada masa Bush, Amerika punya banyak masalah baik dengan negara-negara Amerika Latin seperti Bolivia, Cuba, Venezuela maupun dengan negara-negara Timur Tengah, seperti Iran, Sudan, Libia. Nah, ini adalah hubungan-hubungan yang harus dilihat, dan bagaimana Obama ‘in action’ terhadap masalah ini; yaitu apakah hubungan politik LN-nya akan berubah atau tidak dengan negara-negara tertentu.
Kalau begitu dia punya dua PR, politik dan ekonomi?
Sudah jelas itu.
Kita kembali ke Sudan, tentang Konferensi Ekonomi Islam Internasional yang dilaksana-kan Hizbut Tahrir di sana. Menurut Pak Sony, apakah sisi politisnya cukup kuat?
Satu hal, negara Sudan berbeda dengan Indonesia. Sejak awal Sudan merdeka tahun 1956, ia punya keinginan kuat menjadi Negara Islam, dan itu dikuatkan dalam konstitusinya. Sebenarnya lingkungan politiknya jauh lebih kondusif. Apa-apa yang dipikirkan atau yang dibicarakan dalam Konferensi itu—sikap anti-Kapitalisme, anti Amerika—mereka sudah lebih dulu dan jauh lebih radikal dari konsep politiknya. Jadi, tidak ada hal yang baru bagi konteks politik Sudan, apalagi mereka juga sudah menjadi korban politik Amerika dengan diembargo dan mereka juga melawan.
Apakah dalam Konferensi tersebut ada yang mengarah dan mengkritisi, misalnya, rezim yang korup?
Menurut saya, pembahasan dalam Konferensi tersebut lebih banyak pada tataran normatif (teoretik) dan kritik kepada Kapitalisme. Tidak ada sesuatu yang baru dan tidak historis begitulah; kurang pembahasan pada aspek solusi. Mungkin karena kurangnya dialog. Diperlukan juga pendekatan scientific selain pendekatan politik melalui sistem sebagaimana yang dilakukan oleh HT. Misalnya saja, kalau kita bicara tentang Kapitalisme—sebuah konsep yang diciptakan oleh Karl Marx yang memiliki epistemologinya sendiri. Nah, Islam juga harusnya punya epistemologi sendiri yang tidak bisa pinjam dari Marx sehingga tidak bisa langsung loncat ke sistem. Oleh karenanya, HT sebagai organisasi yang besar dan berlingkup internasional, perlu perspektif yang lebih otentik dalam membaca situasi.
Apakah maksudnya seperti, kalau dalam sistem Islam, dalam masalah pembagian kepemilikan. Terus kita bicara pertanian. Nah, di pertanian sendiri kan banyak masalah seperti petani kehilangan untuk membuat benih sendiri, berarti ini sebuah persoalan yang harus dipetakan pula. Sampai ke arah situ yang dimaksud dengan pendekatan scientific itu kira-kira?
Oh, itu sudah teknis, itu sudah turunan dari Kapitalismenya. Itu berarti kita masih menggunakan kerangka Kapitalismenya Marx. Dalam pandangan saya, kalau Islam punya nilai-nilai yang spesifik dan dari sana bisa diturunkan menjadi salah satu kerangka metodologis untuk memahami realitas, yaitu Islam menolak materialisme baik Sosialisme maupun Kapitalisme, maka kita harus bisa menjelaskan bagaimana materialisme itu bisa merusak peradaban. Nah, persoalannya kemudian, kita harus bisa menjelaskan epistemologis yang non-materialistik itu seperti apa. Yang dikhawatirkan jangan-jangan kita hanya ‘ngotak-atik’, tetapi kerangkanya masih tetap materialistik. Dengan begitu, teori kita otentik, tidak pinjam. Misalnya dalam mengukur kemakmuran apakah harus income perkapita, ekspor, impor seperti dalam ukuran materialisme? Nah, kalau Islam seperti apa? Itu yang harus dikembangkan. Di sinilah pentingnya ukuran-ukuran untuk digunakan merumuskan kebijakan-kebijakan; baik di sektor perburuhan, listrik, pengaturan lalu-lintas, perumahan dan lain sebagainya. Dengan begitu, saat sistem Khilafah itu tegak, semua detil sudah disiapkan dan tinggal dijalankan.
Berarti itu tantangan yang harus disiapkan oleh pejuang ekonomi Islam, termasuk juga yang harus dilakukan oleh Hizbut Tahrir?
PR yang harus dilakukan masih banyak sekali. Jika ingin lebih maju maka pertemuan para pakar internasional harus dipersering dan pindah-pindah; hari ini di Malaysia, besok di Indonesia, terus dimana lagi…Termasuk penting untuk mengekspos kawan-kawan dari belahan dunia lain terhadap keragaman masyarakat dunia untuk saling mengenal. Dari situ diharapkan bisa muncul apa yang kita rindukan itu, yaitu suatu pendekatan yang lebih otentik dan saintifik. Jadi tidak sekadar romantisme Khilafah. Yang dibutuhkan adalah Khilafah Abad 21.
Hal yang saya senang selama di Sudan adalah sikap orang-orangnya yang baik dan bersahabat, tidak mengganggu dan itu mengalahkan Indonesia. Tidak ada itu siulan laki-laki iseng menggoda perempuan yang lewat. Perempuan di sana merasa bebas dan aman, bahkan saat mereka sendirian jalan di tempat yang gelap; atau tukang becak yang menyeret-nyeret menawarkan jasanya seperti di Indonesia. Saya secara pribadi pun merasakan rasa aman itu. Itu kira-kira catatan penting yang bisa saya sampaikan pada konferensi internasional ekonomi Islam di Sudan. [Dr. Revrisond Baswir]
06 Februari 2009
Yang Dibutuhkan: Khilafah Abad 21
Posted by cah_hamfara
07.16, under Artikel | No comments
0 komentar:
Posting Komentar