Dalam perkembangan terakhir di Xinjiang lebih 150 warga tewas dan 1434 dipenjara, artikel ini akan mengupas bagaimana Islam memasuki Cina dan penindasan terhadap muslim oleh rezim pemerintahan Cina. Artikel ini merupakan kompilasi dari publikasi sebelumnya di majalah Khilafah di bulan Maret 1997.
Sejarah Muslim
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam [Al-Anbiyaa, 21:107]
Risalah yang diemban Nabi Muhammad akan mendominasi dunia. Sesuai dengan visi ini para Sahabah yang meneruskan garis perjuangan Nabi berupaya untuk memperluas tapal batas wilayah Negara Islam semakin jauh ke depan. Dengan pandangan untuk mencapai tujuan yang mulia untuk menaungi dunia dengan risalah yang suci, Khalifah Uthman ibn Affan memulai kontak dengan Cina. Setelah menundukkan Romawi dan Persia, Khalifah Uthman bin Affan mengirim delegasi yang dipimpinm Sa’ad ibn Abi Waqqas ra (paman Nabi Saaw) ke Cina pada tahun 29 H (651 M). Misi delegasi ini adalah mengundang kaisar Cina untuk memeluk Islam.
Masjid pertama di Cina dan Pendatang Muslim
Delegasi muslim lalu membangun Masjid di kota Kanton. Masjid ini dikenal hingga hari ini sebagai ‘Masjid Memorial’. Ada beberapa laporang yang mengatakan bahwa Sa’ad juga dikubur di Cina. Selama bertahun-tahun aktifitas perdagangan di Cina, membawa pendatang muslim yang berprofesi sebagai pedagang dan pelaut. Daerah dimana para pendatang muslim tersebut bermukin dikenal sebagai pelabuhan Chen Aan pada masa Dinasti Tang.
Dari sini mulai tumbuh benih kebencian terhadap muslim di Cina. Akan tetapi keberadaan Khilafah, memelihara berkobarnya semangat jihad di antara umat. Maka tidak ada satupun penindasan yang dibiarkan begitu saja kecuali dengan jihad fii sabilillah. Salah satu perang yang berkobar di perbatasan Cina terjadi di tahun 1334H, dimana Ziyad memimpin pasukan jihad. Meski berjumlah lebih sedikit, dengan bantuan Allah SWT, pasukan muslim berhasil menggempur Cina dengan telak. Setelah itu, Muslim pun dihormati sebagai kekuatan yang diperhitungkan hingga mampu mengontrol sebagian besar Asia Tengah. Di tahun 138H, Khalifah Mansur juga mengirim ke sana tidak kurang dari 4000 pasukan muslim bersenjata lengkap sebagai simbol kekuatan adidaya.
Mutiara Rahmat
Kemenangan demi kemenangan ini membuka pintu Cina bagi muslim untuk menyebarkan keindahan dan kebenaran Islam. Dengan demikian kemenangan itu pun terkonsolidasi dengan mengikut metoda Islam. Muslim yang berpindah dan bermukim di Cina juga menikahi gadis Cina. Pendatang muslim generasi awal ini pun juga mendirikan mesjid, sekolah, dan madrasah. Di perkotaan, para ulama mendominasi. Madrasah menjadi tempat menimba ilmu bagi banyak pelajar. Pelajar pun datang dari berbagai wilayah termasuk Rusia dan India, sehingga benar-benar menjadi arti harfiah dari ungkapan ‘Belajarlah hingga ke Cina.” Di tahun 1790an, menurut tradisi, ada sekitar 30 ribu pelajar muslim. Kota Bukhara yang saat itu masih merupakan bagian dari Cina, menjadi terkenal dengan julukan sebagai ‘Pilar Islam.’ Di kota inilah, Imam Bukhari lahir dan dikenal sebagai ahli hadits atau Muhaditsiin.
Jihad menghadapi Ancaman
Pendatang muslim generasi awal di Cina mengalami berbagai kesulitan dan penindasan. Pemerintah Dinasti Manchu (1644-1911) adalah rezim terburuk dan terbrutal yang pernah mempersulit kehidupan umat Islam. Tidak kurang dari 5 kali peperangan dikobarkan Dinasti Manchu terhadap muslim
(1) Perang Lanchu 1820-28
(2) Perang Che Kanio 1830
(3) Perang Sinkiang 1847
(4) Perang Yunan 1857
(5) Perang Shansi 1861
Masa ini adalah masa kebencian Manchu terhadap Islam dan Muslim. Pada zamannya, Muslim dibantai dan Masjid diratakan dengan tanah. Saat itu kaum muslimin masih dipimpin oleh umat yang tidak diam begitu saja tapi mengobarkan jihad terhadap ancaman brutal seperti itu. Salah satu komandan militer umat Islam Yaqoob Beg (1820-77) membebaskan Turkestan dan memerintah dengan aturan Islam di sana. Khalifah yang berkuasa masa itu juga mengakui perjuangan Beg sebagai perjuangan Islam dan gembira dengan berita kemenangannya. Di masa kekuasaannya Beg juga berhasil menghapus tindak kejahatan kekerasan.
Pejabat Rusia dan Inggris sangat khawatir terhadap naik daunnya kekuatan Islam dan mengatakan bahwa kekuatan Islam yang muncul di Asia Tengah, meliputi propinsi-propinsi Yunan, Szechawan, Shensi dan Kansu. Salah satu pejabat Inggris berkata,” Di hadapan kita saat ini ditengah-tengah wilayah yang jauh dari mana-mana nampak tanda-tanda akan adanya kebangkitan besar umat Islam.”
Permusuhan Cina terhadap Islam
Sejak Komunis menguasai wilayah muslim Turkistan Timur (yang oleh kaum komunis dinamai XingXang atau ‘Wilayah Baru’) di tahun 1949, nampaknya terjadi pemutusan komunikasi total sehingga tidak diketahui berita apa saja yang terjadi di sana. Ada dugaan terjadi pembersihan massal ala Stalin di Rusia, namun apa persisnya tidak diketahui pasti. Kunjungan terakhir oleh koresponden majalah Khilafah ke Beijing di tahun 1992 melaporkan adanya penindasan terhadap umat Islam di sana. Saat itu terjadi ketegangan sesama penduduk Turkistan Timur di Beijing. Di sekitar Beijing ada daerah yang sering dikunjungi oleh pedagang Turkistan, yang sebagian besar adalah pedagang sutra, yang dikenal sebagai Kanjacou. Kebencian mereka terhadap petugas pemerintah Cina yang sedang lalu lalang pun nampak, dimana terungkap dengan kata-kata “Kafir, Kafir! Jihad, Jihad!”
Penyelidikan yang semakin dalam menunjukkan mimpi buruk yang sedang dialami kaum muslim di Turkistan Timur. Seseorang diburu polisi karena ‘kejahatannya’ mengajarkan Qur’an ke anak-anak. Sering juga terjadi razia terhadap umat Islam di Beijing. Hal ini terjadi di Beijing, entah di tempat lain, apalagi di Turkistan Timur yang sangat tidak bisa dibayangkan. Penindasan terhadap umat Islam di sana nampaknya memiliki satu tujuan: menghapus identitas Islam dari umat muslim.
Tidak lama setelah komunis mengambil alih kekuasaan di tahun 1949, pemerintah Mao membagi umat Islam ke dalam identitas suku bangsa, sehingga umat dipecah menurut ras mereka, dan bukan lagi oleh kesamaan aqidah, yaitu ‘identitas keislamannya’. Menurut statistik kependudukan di tahun 1936, pemerintahan Kuomintang Republik Cina saat itu memperkirakan jumlah warga muslim sebesar 48.104.240 orang. Sejak diberlakukannya kebijakan Mao, angka tersebut menurun menjadi 10 juta warga saja. Tidak ada penjelasan resmi, kemana hilangnya 38 juta nyawa. Pembersihan massal seperti ini sangat luarbiasa dan membuat apa yang terjadi di Tibet tidak ada apa-apanya. Padahal Barat begitu getolnya membela hak asasi pendeta dan dalai lama Tibet akibat pendudukan Cina di sana dan juga peristiwa Tiannamen Square, tapi tidak pernah mengucurkan air mata untuk nasib umat Islam.
Di samping penghilangan secara fisik, Muslim juga sering dihujani dengan serangan yang mengancam identitas keislaman mereka. Masa Revolusi Budaya (1966-76) menunjukkan bagaimana brutalnya kebijakan dan sikap kaum Komunis. Ini terlihat dari poster yang terpampang di Beijing saat itu di tahun 1966, yang menyerukan penghapusan ritual Islam.
Muslim juga dilarang untuk mempelajari bahasa tulis semasa Revolusi Budaya tersebut. Bahasa tulis muslim di sana memiliki unsur huruf Arab dan dipengaruhi oleh Arab, Turki dan Farsi. Kebijakan ini sangat bahaya karena memisahkan muslim dari bahasa Arab, bahasa Qur’an dan Negara Islam. Taktik seperti ini memang sering dipraktikkan oleh musuh-musuh Islam termasuk Mustapha Kamal, seorang laki-laki yang menghapus Khilafah. Pada masa ini, kaum komunis menutup Masjid dan menyebarkan fitnah tentang Islam dan muslim .
Saat ini kita bisa lihat dari kerusuhan yang terjadi di Turkistan Timur, dimana perlawanan umat terhadap kaum komunis masih menyala. Komunis pun menyadari bahwa semangat kaum muslim tidak mudah dipatahkan, maka mereka pun mengambil kebijakan yang bertujuan untuk menekan Islam sebagai pandangan hidup dengan mendorong berdirinya organisasi dan institut islam yang tidak lain hanya sekedar boneka yang dikendalikan penguasa. Kebijakan licik seperti ini juga dipakai oleh rezim yang berkuasa di Yordania, Sudan dan Kuwait dengan ‘membiarkan’ kaum ‘islamist’ untuk memasuki pemerintahan untuk meredam keinginan umat yang menuntut untuk menerapkan syariah secara total. Contoh di Cina nampak terlihat jelas dengan didirikannya Institut Teologi Islam dan Pusat Asosiasi Islam Cina, dimana keduanya menerima dana dan legitimasi dari pemerintah. Di samping melakukan aktifitas yang pro-kebijakan pemerintah Cina, mengorganisir Haji, para pekerja di kedua organisasi ini diseleksi dengan ketat sekali. Artinya, pemerintah Cina juga tidak ingin bahwa berita tentang penindasan terhadap umat Islam di sana tidak sampai terdengar oleh umat Islam di seluruh dunia.
Sejak terjadinya Revolusi Budaya, properti Wakaf juga disita dan masjid diduduki paksa. Kampanye yang didukung pemerintah membidik sebagian pimpinan umat Islam sebagai tokoh ‘reaksioner’ dan ‘anti rakyat’. Kebijakan untuk membersihkan etnik (baca: muslim) pun masih berlansung. Etnik Han (mayoritas etnik di Cina, yang kafir) mulai banyak bertransmigrasi ke Turkestan Timur untuk memastikan adanya mayoritas non-muslim di sana. Pada tahun 1949 hanya ada 2-3% etnik Han di sana, namun kini mereka mencapai 38%.
Perlawanan masih berlangsung
Meski ditindas oleh tirani pemerintah Cina, muslim di Turkestan Timur masih bertahan. Anak-anak muda mengenakan kalung berlogo bulan bintang, yang mirip dengan simbol yang digunakan Khilafah Uthmani di masa lalu. Mengenakan kalung ini bisa berakibat penjeblosan ke penjara. Di daerah Kajacou di Beijing, seorang muslim ditanya tentang anak-anaknya, yang ia jawab ada 6. Angka ini sangat tinggi karena hukum di Cina mengatakan bahwa muslim di Turkistan Timur hanya boleh punya anak 2 saja! Muslim juga bangga dengan semua hal Islami. Di Kanjacou, ketika mereka mendapat 1 kaset bacaan Quran, maka esoknya kaset itu sudah tersebar kopi-annya. Sikap seperti sempat menyulut demonstrasi masif di tahun 1953 yang memproklamirkan propinsi Islam yang merdeka di wilayah Cina tersebut. Tentu ini mengundang reaksi yang keras dari pemerintah Cina. Namun demikian, ini menunjukkan bahwa umat pun masih tidak menyerah begitu saja. Ikatan dan kecenderungan setiap muslim untuk menjadi bagian dari umat Islam dunia yang lebih besar merupakan bukti penolakan mereka terhadap sistem komunis dan juga menunjukkan bahwa penindasan apapun yang pemerintah Cina perlakukan terhadap mereka tidak akan menggoyahkan semangat juang. Sebagaimana pejabat Cina mengatakan,’ Seperti menikam mereka dengan pisau, mereka tidak akan pernah lupa dengan lukanya.’
Dan juga kita tidak akan boleh lupa dan biarkan mereka semua tahu bahwa Khalifah di masa yang tidak lama lagi, insya ALLAH, akan mengirim pasukan Mujahidin yang siap membela Islam tepat di halaman depan Cina itu sendiri.
(Rusydan : http://www.khilafah.com/index.php/concepts/islamic-culture/6938-chinas-crusade-against-the-muslims-of-xinjiang)
15 Juli 2009
‘Perang Salib’ Cina terhadap Muslim di Xinjiang
Posted by cah_hamfara
05.33, under Artikel | No comments
0 komentar:
Posting Komentar