Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

12 Mei 2009

Menemukan Kebenaran, Menggugat Relativisme (chapter-1)

Posted by cah_hamfara 04.35, under | No comments




Oleh: Muh. Dhuha Ghufron, SEI
A. PENGANTAR
Kondisi kaum muslimin sekarang, suka tidak suka dalam keterpurukan. Di belahan bumi manapun, mereka tertinggal pada seluruh aspek kehidupannya. Mereka berakidah, tetapi belum memahami makna akidah yang sesungguhnya. Mereka muslim, namun keislamannya hanya karena warisan yang tertulis dalam KTP. Islam ”kebetulan" menjadikan mereka tidak memahami Islam seutuhnya, mereka menganggap semua agama itu benar, akhirnya mereka pun mudah dimurtadkan.
Umat Islam mengalami kemunduran, terpuruk, terjajah, tertindas. Mereka ibarat buih di lautan, jumlahnya banyak, namun tidak berpendirian alias terombang-ambingkan oleh ombak. Mereka ibarat makanan diatas piring yang diperebutkan oleh sekelompok serigala. Mereka menderita penyakit cinta dunia dan takut mati (wahn). Padahal Allah berfirman yang artinya: Kamu adalah ummat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imron: 110)

Kebangkitan Umat Islam
Umat Islam harus dibangkitkan. Tidak boleh dengan kebangkitan semu, tetapi dengan kebangkitan hakiki. Kebangkitan semu adalah kebangkitan yang reaksioner, emosional, dan tidak jelas arah tujuannya. Kebangkitan semacam ini muncul akibat penindasan, biasanya tidak konsisten, timbul tenggelam, terbatas dan tergantung pada usia. Kalau sudah berusia tua, sudah tidak bangkit lagi.
Berbeda dengan kebangkitan semu, adalah kebangkitan hakiki. Kebangkitan hakiki adalah kebangkitan yang melalui proses perenungan, kesadaran dan proses berfikir.

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakan memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka punya mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka punya telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (Q.S. Al-A’raf: 179)

Pertanyan akidah
Berfikir yang serius, mendalam bahkan sampai mendasar tentang tiga buah pertanyaan: darimana asal manusia, alam dan kehidupan ini? Untuk apa manusia ada? Dan akan kemana setelah di dunia ini? Jika menemukan jawabannya maka mereka akan mengalami kebangkitan. Jawaban dari tiga pertanyaan inilah yang akan mengikat mereka dalam seluruh pemikirannya, perasaannya dan perbuatannya. Jawaban inilah yang nantinya disebut akidah, karena karakter jawaban ini yang mengikat mereka.
Setelah menemukan tiga jawaban dari tiga pertanyaan mendasar ini, maka gambaran hidup dan tujuan hidupnya akan menjadi jelas. Mereka akan senantiasa semangat, tidak mudah putus asa. Jika jawaban benar, maka pemikiran, perasaan dan perbuatannya akan benar. Jika salah, sebaliknya. Sehingga tidak bisa main-main dalam urusan akidah.

B. METHODE MENDAPATKAN KEBENARAN
Sekelompok manusia dalam mendapatkan kebenaran adakalanya menggunakan akal, ada sekelompok yang lain menggunakan perasaannya. Manusia kelompok pertama kita sebut manusia sejati, sedangkan manusia kelompok kedua kita sebut manusia jadi-jadian.
Manusia kelompok pertama biasa dipimpin oleh akalnya, nafsu mengikuti pemikirannya, dia berfikir dulu lalu berbuat, biasa argumentatif, bahkan argumennya dilandasi oleh argumen yang lain, lebih bersifat obyektif dan rasional, sehingga dalam memperoleh kebenaran, manusia kelompok ini diantar melalui sebuah pemikiran yang mendasar.
Manusia pada kelompok kedua adalah manusia jadi-jadian. Nafsunya memimpin akal, ia seperti binatang, senantiasa menggunakan standar like and dislike. Pemikirannya dangkal, perasaannya mendominasi hingga argumentasi dasarnya adalah subyektif ”poko’e”.

Definisi Sederhana
Dari tadi kita membicarakan kebenaran. Sebetulnya apakah “benar” itu? Definisi sederhana tentang benar adalah jika pernyataan sama dengan kenyataan, atau sebaliknya. Contoh: Apakah ini benar buku? Kalau memang buku, berarti ’ya’ itu benar buku. Apakah ini benar spidol? Apakah bumi itu ada? Kalau memang ada, berarti benar ’ya’ bumi itu ada. Apakah surga itu ada? Apakah Tuhan itu ada? Apakah bidadari surga itu cantik? Apakah bidadari di surga itu berjumlah 10.000?

Bagaimana akal bisa mencapai kebenaran?
Berangkat dari pemikiran sederhana, kita menyamakan antara akal, pemikiran dan pemahaman. Tiga kata tersebut dianggap sinonim (mutaraddif). Pastinya, orang disebut berakal jika empat unsur berikut ini lengkap. Fakta yang terindera, panca indera, otak yang sehat dan informasi sebelumnya (ma’lumat as-sabiqoh). Akal manusia akan bekerja jika fakta yang terindera tercerap kedalam otak yang didalamnya ada informasi sebelumnya tentang fakta tadi.
Misalnya, ada fakta buku yang diindera oleh mahasiswa yang didalam otaknya ada informasi tentang fakta tersebut, maka mahasiswa tadi tahu bahwa fakta itu buku. Sebaliknya, jika diindera oleh anak kecil yang baru berusia dua setengah tahun, dimana dalam otaknya belum ada informasi tentang nama fakta tersebut, maka baginya itu informasi baru.

Itu adalah kebenaran langsung
Kebenaran langsung atau pemikiran tingkat I adalah kerja akal manusia pada saat fakta yang terindera terscerap masuk kedalam otak yang sehat kemudian otak menafsirkan fakta tersebut dengan informasi sebelumnya yang tersedia didalamnya. Pemikiran tingkat I ini sangat sederhana untuk menemukan kebenaran langsung.
Bagaimana jika manusia ingin membenarkan sesuatu yang tidak kelihatan? Ingin mengetahui sesuatu di balik tembok? Ingin tahu yang ada di dalam tanah? Ingin tahu yang ada di dalam samudra? Ingin tahu kandungan bumi? Ingin tahu yang ada di balik langit? Ingin tahu apakah surga itu ada? Ingin tahu apakah Tuhan itu ada? Maka diperlukan pemikiran tingkat II untuk mendapatkan kebenaran tidak langsung.

C. KEBENARAN TIDAK LANGSUNG
Pemikiran tingkat II atau pemikiran yang digunakan untuk mendapatkan kebenaran tidak langsung bisa juga disebut pemikiran untuk membuktikan suatu fakta yang ghoib. Disebut ghoib jika fakta tersebut tidak terindera secara langsung, dia bisa tersembunyi, terhalang, lampau atau bahkan yang akan datang. Bagaimana cara menyimpulkan bahwa sesuatu yang ghoib itu benar? Maka dibutuhkan dalil yang langsung, sebagai hasil pemikiran tingkat I.
Pemikiran tingkat I merupakan syarat dalil untuk mendapatkan kebenaran tidak langsung. Oleh karena itu, untuk menyatakan sesuatu itu dalil atau bukan harus melalui verifikasi dulu.

Penilaian Dalil
Dalil diverifikasi atau dinilai dengan menggunakan alternatif kebenaran. Jika hanya memiliki satu alternatif membenarkan, maka disebut wajib ’aqli (pasti benar). Jika lebih dari satu alternatif membenarkan disebut jaiz ’aqli (mungkin benar mungkin salah). Jika tidak ada alternatif yang membenarkan disebut mustahil ’aqli (pasti salah).
Kebenaran dinilai dengan prosentase sebagai berikut, jika 100% benar disebut yakin, jika kurang lebih 95% benar disebut gholabatu dzon, jika kurang lebih 75% benar disebut dzon, jika kurang lebih 50% benar disebut syak, jika kurang lebih 25% benar dusebut wahm dan jika 0% benar disebut kidzb.

Catatan untuk methode ilmiah:
Pemikiran tingkat 2 ini kemudian dikembangkan oleh manusia menjadi metode ilmiah. Pengembangannya dibantu dengan ilmu statistika. Dalil yang digunakan adalah banyaknya sampel dari populasi atau banyaknya pengulangan dari pengujian. Tingkat kebenaran yang dicari dengan metode ilmiah sesungguhnya hanya sebatas “kidzb” sampai “ghalabatu dzan” (dengan simbol Ho dan H1). Kebenaran dengan metode ini sekarang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang absah yang dapat diterima oleh “seluruh manusia”. Metode ilmiah bahkan mengabaikan kebenaran “yakin” yang dapat dicapai oleh akal manusia (hanya karena tidak harus menggunakan prosedur metode ilmiah yang ada).

Itu adalah kebenaran tidak langsung
Yaitu ketika manusia ingin mengetahui sesuatu itu benar atau salah padahal realitasnya ghoib atau tidak terindera secara langsung. Manusia dalam menilai kebenaran pada level ini membutuhkan dalil sebagai perantara membuktikan kebenarannya. Syarat dalil yaitu kebenarang langsung.
Apakah masih ada kebenaran yang ingin diketahui manusia? Mari kita coba menggunakan metode ini – yaitu pemikiran tingkat I dan tingkat II – untuk menilai demokrasi. Apa yang ingin diketahui tentang demokrasi? Sangat tergantung dengan pertanyaannya. Jika pertanyaannya: demokrasi itu apa? Dijawab: demokrasi itu kedaulatan ada di tangan rakyat. Jawaban itu benar atau salah? Itu bisa diteliti pada dalil-dalilnya. Jika ada dalil yang menunjukkan bahwa jawaban itu sesuai dengan penggagas faham demokrasi maka jawaban itu dapat dianggap benar. Ini adalah kebenaran tingkat 2 (tidak langsung).
Bagaimana jika pertanyaannya beda, yaitu demokrasi itu benar atau salah? Bagaimana kita bisa menilai benar salahnya? Contoh lain: nasionalisme itu apa? Nasionalisme itu benar atau salah? Membunuh itu apa? Membunuh itu benar atau salah? Kawin itu apa? Kawin itu benar atau salah? Perang itu apa? Perang itu benar atau salah? Terorisme itu apa? Terorisme itu benar atau salah? Sholat itu apa? Sholat itu benar atau salah? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain yang tidak cukup dijawab dengan menggunakan metode ini.
Pemikiran tingkat II ini belum cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban ’vonis’. Sekalipun metode pemikiran tingkat II ini sekarang sedang mendominasi dunia akademik namun hasil metode pemikiran tingkat ini tidak mendasar. Sehingga dibutuhkan pemikiran tngkat berikutnya yaitu pemikiran tingkat III, atau kebenaran akidah.

D. MEMBONGKAR RELATIVISME
Dialog pencuri ayam dengan hakim
Ada seorang pencuri mencuri dua ekor ayam tertangkap basah. Kemudian pencuri itu dibawa ke pengadilan. Dia dihadapkan ke majelis hakim untuk disidang. Dua ekor ayam sebagai bukti dan saksi dihadirkan. Hakim yang menggunakan metode berfikir tingkat II menjatuhkan vonis dua tahun penjara.
Pencuri tidak menerima vonis tersebut. Dia menggunakan metode berfikir lebih tinggi dari hakim dengan mengajukan sebuah pertanyaan, ”mengapa harus divonis dua tahun penjara? Vonis ini benar atau salah?”
”Benar” jawab Hakim
”Dasarnya apa?” timpal Pencuri.
”KUHP” jawab Hakim
”Mengapa harus menggunakan KUHP? Benar atau salah?” tanya Pencuri
“Benar” jawab Hakim
“Dasarnya apa?” timpal Pencuri
”UU Peradilan” jawab Hakim.
“Mengapa menggunakan UU Peradilan? Ini benar atau salah?” tanya Pencuri
“Benar” jawab Hakim
“Dasarnya apa?”
”UUD 45” jawab Hakim.
“Mengapa menggunakan UUD 45? Ini benar atau salah?” tanya Pencuri
“Benar” jawab Hakim
“Dasarnya apa?”
”Pancasila” jawab Hakim.
“Mengapa menggunakan Pancasila? Ini benar atau salah?” tanya Pencuri
“Benar” jawab Hakim
“Dasarnya apa?”
”Kesepakatan pendiri negara” jawab Hakim.
“Mengapa kesepakatan mereka? Ini benar atau salah?” tanya Pencuri
“Benar” jawab Hakim
“Dasarnya apa?”
”Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia” jawab Hakim.
“Mengapa harus nilai-nilai luhur? Ini benar atau salah?” tanya Pencuri
“Benar” jawab Hakim
“Dasarnya apa?”
”Dasarnya dari nenek moyang bangsa Indonesia” jawab Hakim.
“Mengapa menggunakan nenek moyang? Ini benar atau salah?” tanya Pencuri
“Benar” jawab Hakim
“Dasarnya apa?”
”Nenek moyang dari nenek moyangnya lagi” jawab Hakim.
“Mengapa begitu? Nenek moyang dari mana?” tanya Pencuri
”Dari nenek moyang.....”
Dari nenek moyangnya lagi....”
Sampai pertanyaan terakhir; dari mana? Dari mana alam, manusia dan kehidupan?
Hakim bingung......




Kebenaran akidah
Kebenaran akidah menggunakan metode berfikir akidah yaitu metode berfikir tingkat III. Metode berfikir yang biasa digunakan oleh manusia sejati, bukan manusia jadi-jadian. Pemikiran yang rasional, tidak emosional. Pemikiran yang obyektif, tidak subyektif. Metode berfikir yang universal, bisa digunakan oleh siapa saja yang memiliki akal sehat.
Kebenaran akidah tidak bisa disembunyi-sembunyikan, karena kebenaran akidah ini milik siapa saja yang ingin mendapatkannya. Dimulai dari pertanyaan; dari mana manusia, alam semesta dan kehidupan? Kemudian; untuk apa manusia, alam, dan kehidupan? Terakhir; akan kemana manusia alam dan kehidupan?
Manusia, alam, dan kehidupan semuanya lemah, terbatas, dan membutuhkan yang lain. Ketiganya tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan. Siapakah dia? Dialah Sang Pencipta.

Dari mana Sang Pencipta ada?
Hanya ada tiga kemungkinan asal Sang Pencipta, pertama Dia diciptakan oleh Sang Pencipta yang lain, atau kedua Dia menciptakan Dirinya sendiri, atau ketiganya tidak kedua-duanya. Jika ada kemungkinan keempat, bisa ditunjukkan?! Tidak Ada.
Kemungkinan pertama dan kedua tidak rasional, bertentangan dengan fitroh kita sebagai manusia, dan membuat hati kita tidak tenang. Kemungkinan pertama dan kedua bathil. Sehingga hanya tinggal satu kemungkinan terakhir yaitu tidak kedua.
Sang Pencipta tidak diciptakan oleh pencipta yang lain dan Dia tidak menciptakan dirinya sendiri. Istilah yang biasa digunakan oleh ahli kalam adalah azali, yaitu: laa awwala lahu walaa akhira lahu.

Menancapkan pemahaman
Kaum muslim dalam beriman seharusnya menggunakan metode pemikiran tingkat III ini. Pemikiran tingkat ini adalah pemikiran yang menghasilkan kebenaran akidah yang bisa diuji cobakan kepada manusia yang lain, karena kebenarannya mutlak dan metode yang digunakan universal untuk seluruh alam (rahmatan lil ’alamin).

Uji keimanan
Silakan jawab tiga pertanyaan berikut ini:
1. Jika Tuhan Maha Kuasa, mampukah Tuhan menciptakan batu yang sangat besar, sehingga Tuhan tidak mampu mengangkatnya?
2. Jika Tuhan Maha Kuasa, mampukah Tuhan memasukkan seluruh alam semesta ini ke dalam telur ayam?
3. Jika Tuhan Maha Kuasa, mampukah Tuhan menciptakan Tuhan? (Tuhan anak, misalnya).
4. Iman pada Sang Pencipta, pada Wujud-Nya ataukah pada Dzat-Nya?

Kesimpulan
Pertanyaan aqidah yang pertama; dari mana asal manusia, alam semesta dan kehidupan bisa dijawab dengan menggunakan akal yang sehat, manusia mampu menjawab dengan benar. Jawabnya adalah pasti ada Penciptanya. Pencipta bersifat azali, wajibul wujud.

Masalah berikutnya
Akal manusia bisa menjawab dan memastikan adanya Pencipta. Namun masalah kehidupan belum juga terselesaikan. Kenyataannya, hampir 90% penduduk di bumi ini percaya adanya Tuhan. Hampir semua negara yang berdiri di muka bumi ini selalu didasari oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi, mengapa bumi ini tidak semakin aman, semakin makmur dan semakin damai? Justru yang terjadi sebaliknya.
Oleh karena itu, bagi manusia, percaya kepada adanya Tuhan saja tidak cukup. Termasuk bagi landasan negara. Manusia harus terus berfikir, berfikir dan berfikir, menggunakan aqalnya. Hingga sampai kepada pertanyaan aqidah kedua yaitu apa tujuan hidup manusia di dunia ini?
Jawaban-jawaban pertanyaan inilah yang nantinya akan mampu merubah dunia.

 
Istrahatnya s'org aktivis adalah suatu kelalain, Laa rohata ba'dal yauum. Teruslah berjuang hingga Allah memenangkan Dien ini atau kita Syahid Karenanya...